RANK WIDGET

TENTANG HITAM-PUTIH

Komunitas seni HITAM-PUTIH di Sumatra Barat awalnya adalah kelompok teater yang tumbuh di lingkungan pelajar SMU. Didirikan pada tahun 1992 dengan nama Teater Plus sebagai salah satu kegiatan ekstra-kurikuler di SMU Plus INS Kayu Tanam Sumatera Barat dengan berbagai karya pertunjukan seperti Anggun Nan Tongga (1993), Ring (1994), Kamar, Perguruan (2005), Interne, Kado (1996) . Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1997 bertepatan dengan Ulang tahun INS Kayutanam, atas beberapa pertimbangan dari beberapa siswa dan alumni yang aktif, akhirnya terdapat satu kesepakatan dibentuknya sebuah kelompok independen dengan nama komunitas seni HITAM-PUTIH. Hingga saat ini komunitas seni HITAM-PUTIH tetap eksis dan selalu memberi warna baru dalam aktifitas seni pertunjukan di Indonesia khususnya di Sumatra Barat. Berbagai aktivitas seni pertunjukan khususnya teater dengan pendekatan teater tubuh telah dipentaskan, baik di tingkat regional Sumatera hingga di beberapa tempat di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Seperti Menunggu (1997- 1998-1999-2000), Hamba-Hamba (1997-2008), Welcome to Millenium, Komplikasi (2000), Pesta Topeng (2001), Pintu (2002-2003), Aksioma (2005), Tak Ada Sabtu Sampai Minggu Hanya Ada Siang Dan Malam (2006) Ditunggu Dogot (2005-2007), Dunia Dalam Mesin Jahit (2006), Tangga (2007), Zona X (nyanyian negeri sunyi) (2008), Sesuatu yang melintas dalam samar (2009). di samping melakukan eksplorasi, riset dan eksperimen untuk mencari bentuk-bentuk alternatif seni pertunjukan khususnya seni teater. komunitas seni HITAM-PUTIH, juga mengembangkan bidang kesenian lainnya dengan menjadi penyelenggara beberapa iven seperti pemutaran film kerja-sama dengan Jiffest, In-Doc, dan Eagle Award (2003- sekarang) dan membantu Sukri Dance Theatre dalam setiap proses dan pertunjukan tari.

KALENDER HITAM-PUTIH

USULAN ARTIKEL

PENGIKUT BLOG

JIFFEST TRAVELING DIGELAR DI 6 KOTA DI INDONESIA


“PRESS RELEASE”


JIFFest jalan-jalan keliling Indonesia!Festival film internasional pertama dan terbesar di Indonesia, Jakarta International Film Festival (JIFFest), akan menggelar pemutaran film keliling ke 6 kota besar di Indonesia dalam program JIFFEST TRAVELING 2010.

Penyelenggaraan JIFFest Traveling ini akan dipusatkan di kampus-kampus dan tempat pemutaran film komunitas lokal, seperti:

• Medan, di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sumatera Utara, tanggal 7-9 Mei
• Padang, di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, tanggal 14-16 Mei
• Malang, di Malang Meeting Point, tanggal 21-23 Mei
• Solo, di Gedung Teater Besar Institut Seni Indonesia, tanggal 28-30 Mei
• Banjarmasin, di Gedung Balairung Sari Taman Budaya Kalimantan Selatan, tanggal 4-6 Juni dan
• Makassar, di Gedung Auditorium Universitas Hasanudin, tanggal 11-13 Juni.

Kegiatan ini bukan yang pertama kali digelar JIFFest. JIFFest Traveling diadakan pertama kali tahun 2000, dan terakhir diselenggarakan tahun 2006.

Antusiasme pecinta film di daerah terhadap film-film berkelas dari dalam dan luar negeri selalu tinggi, dengan rata-rata penonton yang terkumpul selama program travelling ini sebanyak 25,000 – 30,000 penonton.

Program JIFFest Traveling tahun ini akan memutar film-film yang pernah ditayangkan di JIFFest selama 3 tahun terakhir. Film-film yang dipilih adalah film yang menjadi highlights di setiap tahunnya, seperti:

• The Year My Parents Went on Vacation (Brazil, ditayangkan di JIFFest 2007),
• Letters to the President (Kanada, ditayangkan di program Madani Film Festival di JIFFest 2009),
• The Fall (India/UK/USA, ditayangkan di JIFFest 2007),
• Takva (Turki, ditayangkan di JIFFest 2008), dan,
• Muallaf (Malaysia, ditayangkan di program Madani Film Festival di JIFFest 2009).
Dari dalam negeri, film-film yang akan diputar antara lain:
• Kompilasi film-film pendek pemenang Kompetisi Pengembangan Naskah JIFFest dari tahun
2006-2008,
• Babi Buta Yang Ingin Terbang (Indonesia, pemenang Sutradara Terbaik Kompetisi Film
• cin(T)a (Indonesia, film favorit pilihan penonton Kompetisi Film Cerita Panjang Indonesia di
JIFFest 2009).

Selain program pemutaran film, JIFFest Traveling juga akan menghadirkan diskusi-diskusi tentang proses pembuatan film Indonesia dengan narasumber professional, seperti:

• Sari Mochtan (production manager Sang Pemimpi, Bukan Bintang Biasa: The Movie, Garasi)
• Meiske Taurisia (produser, Babi Buta Yang Ingin Terbang, wardrobe stylist, The Photograph)
• Yuli Andari Merdikaningtyas (sutradara film dokumenter, Joki Kecil, Bulan Sabit di Tengah Laut)

Sesi diskusi khusus juga akan diusung oleh The Body Shop melalui pemutaran kompilasi film pendek dokumenter program Think.Act.Change. Film-film ini menampilkan tema seputar HIV/AIDS dan anti kekerasan terhadap kaum perempuan. Pembuat film-film yang notabene masih di bangku SMA dan awal kuliah, berikut para pakar, akan hadir untuk menginspirasi teman-teman pembuat film di daerah agar semakin produktif lagi dalam membuat film-film dengan kualitas yang baik.

Susunan Acara :

Jum'at, 14 Mei 2010
13.30 - 22.00 : PEMUTARAN FILM

Sabtu, 15 Mei 2010
10.30 - 12.30 : WORKSHOP SCRIPT WRITING dengan tema "Memahami Penulisan Skenario" dengan pembicara "Perdana Kartawiyudha", penulis skenario sekaligus founder dari Serunya Scriptwriting Online.

12.30 - 22.00 : PEMUTARAN FILM

Minggu, 16 Mei 2010
10.30 - 22.00 : PEMUTARAN FILM
(4 April 2008)

Saat Rutinitas Mengepung Hidup Kita


Lama sekali aku tertidur, aku rasa sudah bertahun -tahun. Aku masih ingat, 31 Desember kemarin aku masih sempat terjaga dan terkejut oleh kerumunan manusia. Mereka membakar kembang api dan meniup terompet, dengan gembiranya, manusia sedunia merayakan satu umurnya pada tahun.

Dedi Darmadi, aktor kelompok teater Hitam Putih, berdiri di sisi tempat tidur di tengah panggung. Sebuah jam yang tergambar samar di dinding "kamar", menggerakkan jarumnya, berputar mengikut perjalanan waktu ke waktu. Cahaya menyiram persis ke sentral panggung, tempat si aktor mulai
bermonolog. Tiba-tiba, dia jumpalitan ke lantai yang penuh dengan tepung putih, kontras dengan suasana panggung yang mencekam.

Tak lama, 3 aktor lain (yang menurut Sutradaranya, Yusril, mereka adalah satu yakni tokoh itu sendiri), yang diperankan oleh Hasan, Andi dan Tomi, muncul dari belakang panggung, membawa payung hitam. Di sini, naskah monolog "Tak Ada Sabtu Sampai Minggu, Hanya Siang dan Malam" milik pemenang sayembara penulisan naskah monolog se Indonesia milik Rozaky,
yang dimainkan kelompok Teater Hitam Putih dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Padang Panjang berubah menjadi permainan kata saling sahut menyahut.

Cerita yang bertutur tentang
"memuakkannya" sebuah kehidupan yang penuh rutinitas dibangun secara apik oleh ke empat pemain yang tampil dengan bertelanjang dada. Mereka berteriak lantang, bergantian, menghujat waktu, menghujat hari-hari.

"Tidak usah ada 7 hari, 5 hari atau 2 hari dalam seminggu. Hanya ada siang dan malam..." ujar ke tiga tokoh "pendamping" itu.

"Hari tidak milik anak sekolah, hari tidak milik orang-orang berdasi, hari bukan milik siapapun. Kita harus mengatur waktu bukan waktu mengatur kita..." sambung mereka.

Apa yang ditampilkan teater Hitam Putih ini menurut Yusril, merupakan satu bentuk keprihatinan terhadap betapa manusia sekarang ini sudah terjebak oleh sebuah rutinitas yang membuat kehidupan itu sendiri menjadi membosankan.

"Manusia sudah salah menafsirkan waktu. Kita bergembira saat ulang tahun ataupun pada tahun baru. Padahal esensinya, saat itu usia kita sudah berkurang, dan kita semakin renta," ujar staf pengajar di STSI Padang Panjang ini.

Sebelum Hitam Putih, tampil sebagai pembuka pada acara malam ke enam
RAAF dan TSS-2008 di Rumahitam adalah Kelompok seni Intro dari Payakumbuh. Mereka naik ke atas panggung dengan mengusung musikalisasi puisi.

Suara Iyut Fitra, penyair muda berbakat asal Payakumbuh terdengar berkarakter, di tengah-tengah iringan musik. Begitu pun dengan Aulia, satu-satunya perempuan di kelompok ini yang dengan suara beningnya mampu menghadirkan suasana berbeda saat melantunkan bait-bait puisi milik Gus tf
Sakai berjudul Keranda.

Sementara, Penyair Hasan Aspahani yang tampil berikutnya, mencoba memberi pelajaran kepada yang hadir malam tadi dengan konsep puisi digitalnya. Meski di kancah kepenyairan saat ini, puisi digital (puisi cyber) mulai memiliki komunitas, setelah munculnya komunitas cybersastra yang
tumbuh dari dunia maya (internet), namun apa yang dibawakan Hasan terkesan "kurang bernyawa".

Wajar, mungkin Hasan lupa, siapa yang tengah menyaksikannya. Malam itu, mayoritas dari ratusan penonton yang hadir adalah terdiri dari kaum ibu-ibu serta masyarakat umum. Lain halnya jika puisi digital miliknya yang bertajuk "Siapkah Kita" itu dimainkan di depan seniman-seniman yang sudah "melek" teknologi.

"Saya memang hanya ingin mengenalkan apa itu puisi digital kepada semua kita yang ada di sini. Puisi digital, memang hanya bisa dinikmati di komputer (laptop)," tukas Hasan.

Pementasan lainnya, sebuah tari "Seligi Tajam Bertimbal" yang dibawakan Grup Leksamana, Pekan Baru. Tarian yang dikoreografero oleh SPN. Iwan Irawan Permadi ini bercerita tentang suasana batin yang diterkam dendam cinta segitiga.

Adalah, Wan Sinari dan Wan Inta, dua bersaudara kakak beradik di sebuah
kerajaan. Wan Sinari sangat mencintai Raja Laksemana, tetapi Raja Laksemana malah meilih Wan Inta untuk dijadikan istrinya (permaisuri). Wan Sinari lalu patah hati dan kemudian timbul rasa dendam.

"Nilai yang tersimpan dari kisah ini, makin tinggi rasa cemburu dalam diri seorang perempuan, makin tinggi pula nilai keperempuanannya," kata Iwan.

Membaca Seni Ritual Mentawai Versus Seni Minangkabau dalam Wacana Intra-Kultural


OLEH SAHRUL N., S.S., M.Si, pengajar STSI Padangpanjang

I

Sumatera Barat tidak hanya dihuni oleh etnis (Melayu) Minangkabau, tetapi juga suku pedalaman yang berdiam di kepulauan Mentawai yang adat dan agamanya jauh berbeda dengan Minangkabau. Minangkabau diidentikan dengan agama Islam, sementara Mentawai masih dihuni sebagian besar agama nenek moyang. Bahkan sampai pada makanan pokokpun berbeda. Orang Minang beras menjadi makanan pokok, sementara Mentawai adalah sagu.

Begitu juga dengan bentuk kesenian yang berkembang di Mentawai yang lebih berorientasi pada ritual keagamaan untuk keseimbangan alam. Sama dengan kebiasaan suku pedalamam lainnya. Minangkabau yang hanya berjarak sepuluh jam perjalanan dengan kapal dari Mentawai seni lebih diarahkan pada permainan anak nagari.

Dari perbedaan yang cukup menyolok ini, STSI Padangpanjang mencoba melihat benang merah bentuk seni yang bisa mengkolaborasikan seni ritual Mentawai dengan seni Minangkabau sehingga membentuk warna baru yang menjadi alternatif dari pengembangan seni Sumatra Barat. Seni sebagai bagian dari kebudayaan tentu akan selalu harus dikembangkan sejauh nilai dasarnya tidak hilang.

Kebudayaan masing-masing etnis berbeda-beda sesuai dengan sifat kebudayaan itu sendiri. Karena itu, perubahannya pun menjadi berbeda-beda. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi proses perubahan di dalam kebudayaan tertentu mencakup sampai seberapa jauh sebuah kebudayaan mendukung dan menyetujui adanya fleksibilitas, kebutuhan-kebutuhan kebudayaan itu sendiri pada waktu tertentu, dan yang terpenting adalah tingkat kecocokan di antara unsur-unsur baru dan matriks kebudayaan yang ada. Perubahan kebudayaan dapat berjalan secara lamban, agak lama, dan cepat.

Seni di Indonesia merupakan refleksi kebhinekaan yang sangat besar. Faktor geografis dan historis menghalangi perkembangan seni yang homogen dengan arah garis evolusi yang tunggal. Fenomena budaya hadir dalam tingkatan-tingkatan kehidupan yang berbeda. Sebagian nampak kuna tetapi masih tetap vital; pada bagian yang lain tampil tua dan sudah nampak akan punah atau mengalami transformasi-transformasi yang radikal; sedangkan bagian yang lain lagi lahir baru serta tumbuh dengan hebat dan pesat[1].

Dalam rangkaian kesatuan pertumbuhan budaya, unsur-unsur lama dan baru tumpang tindih, bercampur baur, atau kadang-kadang hadir berdampingan. Angka-angka tahun hanyalah merupakan pembagi perkiraan yang menandai adanya perkenalan ide-ide atau teknik-teknik baru, tanpa perlu dijelaskan tentang lenyapnya kepercayaan-kepercayaan serta kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Untuk itu perlu adanya pembaharuan sudut pandang dalam mengamati seni pertunjukan di Indonesia.

“Masa yang akan datang diperlukan cara berpikir dan sikap pandang baru yang melihat seni tradisi dan modern sebagai suatu rangkaian kesatuan atau kontinuum (continuum). Memasuki milinea ketiga batas pemisah antara kesenian tradisi dengan yang modern akan semakin tidak jelas (kabur). Akibat proses globalisasi, interaksi budaya (termasuk kesenian), baik antar bangsa (inter-cultural) maupun antar suku bangsa (intra-cultural), menjadi semakin akrab sehingga perbedaan-perbedaan kesenian seperti di atas, yang telah banyak menimbulkan “prahara seniman”, akan tergusur oleh proses interaksi, adaptasi, adopsi, dan bahkan oleh “perkawinan” berbagai unsur seni budaya”[2].

Istilah intra-kultural memang tidak sepopuler interkulturalisme, transkulturalisme dan multikulturalisme. Istilah ini kelihatannya tepat dalam usaha mencapai pertukaran dialektis antar etnis yaitu etnis Mentawai dan etnis Minangkabau. Istilah ini tidak dengan sendirinya menunjukan bahwa ia mengandung dua budaya yang saling bersentuhan di dalamnya, tetapi ia dapat memiliki lebih dua budaya yang berbeda yang berinteraksi, merangsang dan menjawab pertanyaan seseorang terhadap orang lain. Istilah ini akan berguna dalam melihat "benturan-benturan" budaya yang telah memegang peranan penting selama beratus-ratus tahun. Sementara istilah transkulturalisme dan multikulturalisme tanpak tidak menunjukan proses dialektika secara lebih jelas. Kedua istilah ini dapat menjangkau di luar lingkupnya, namun istilah ini tidak dapat menampilkan suatu percampuran "ramuan-ramuan" budaya yang berbeda.

Intra-kultural merupakan persoalan keberagaman dan silang budaya yang dihadapi setiap komunitas dan mencegat kesadaran masyarakat terbuka. Istilah ini merujuk pada proses kerjasama, interaksi dan persilangan antar kelompok budaya. Silang budaya memperoleh dimensinya yang baru berkenaan dengan persentuhan yang intensif antar kebudayaan baik karena proses globalisasi maupun revolusi media. Persentuhan antar budaya, tidak saja melampaui batas-batas geografis, tetapi juga bersilangan dalam dimensi waktu yaitu bergerak ke masa lampau dan masa depan. Pemadatan ruang dan waktu dalam proses silang budaya, membongkar kelaziman transmisi nilai yang biasanya diwariskan generasi ke generasi[3].

Rustom Barrucha[4] menegaskan bahwa silang budaya bukanlah otonom. Bukan juga sebuah permainan yang adil, yang sejauh ini pada prakteknya dimungkinkan lewat pertukaran dengan dasar yang tidak adil. Sampai hari ini silang budaya berlanjut untuk dijadikan teori, retorika, konsep, kerangka, peta, dan dana, hampir di seluruh lokasi dunia pertama.

Untuk istilah intra-kultural ada yang memahaminya sebagai penekanan terhadap ras yang mengacu pada keanekaragaman yang menunjukan keharmonisannya, namun mengabaikan masalah bahasa dan budaya[5]. Akibatnya justru akan menimbulkan konflik seperti Indonesia saat ini. Untuk itu konsep intra-kultural harus dimaknai sebagai sesuatu yang tidak diartikan semata-mata sebagai pluralisme antara ras, melainkan juga seperti reaksi yang meliputi budaya, bahasa yang ditinjau secara lebih rinci terutama yang berkaitan dengan munculnya kekuatan dominasi antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Jadi arah yang dikemukakan Bagus merupakan keseimbangan antara kepentingan etnik tertentu dengan etnik yang lain yang saling berinteraksi.

Banyak ahli yang tidak begitu mempersoalkan perbedaan istilah intra-kultural, interkulturalisme, multikulturalisme, transkulturalisme, cross budaya, hibrida budaya dan sebagainya. Kesemuanya dianggap sebagai persilangan budaya[6]

II

Kepulauan Mentawai merupakan bagian dari Propinsi Sumatra Barat yang saat ini telah menjadi Kabupaten baru. Dulunya masih bergabung dengan Kabupaten Padang Pariaman. Siberut merupakan pulau terbesar, kemudian pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Luas keempat pulau itu keseluruhan sekitar 7.000 km2. kecuali itu masih ada sejumlah besar pulau kecil yang sebagian ditanami pohon kelapa, tetapi tidak didiami, hanya berfungsi sebagai ladang.

Walaupun jarak dari Pantai Padang ke Mentawai sekitar 100 km, akan tetapi kebudayaan meraka sangat jauh berbeda. Menurut Schefold[7] bahwa kekunoan yang aneh dari wujud kebudayaan di Mentawai sudah menarik perhatian orang-orang yang datang ke situ pada abad ke-18. Mereka terheran-heran ketika menyadari bahwa orang Mentawai lebih banyak menampakan kemiripan dengan penduduk kepulauan Hawaii, Tahiti serta kepulauan Polynesia lainnya yang terletak jauh di sebelah timur, dibandingkan dengan Sumatra atau Jawa yang bertetangga dengan Mentawai.

Orang Mentawai tidak mempunyai gambaran jelas tentang asal mula dunia tempat mereka hidup. Walaupun mereka mengenal beraneka ragam kisah mitologis yang kadang-kadang sebagai tema utama, dan kadang-kadang dengan sepintas lalu bercerita tentang terciptanya jagat raya, perihal tentang asal mula berbagai gejala atau mengenai riwayat manusia, namun dari segala mitos tidak dapat dijabarkan secara menyeluruh karena ada sebagian penting dan yang sepele dan sebagian lainnya dibiarkan kabur. Namun hal ini bagi orang Mentawai tidak membuat gangguan yang berarti. Mitos-mitos tersebut bagi orang Mentawai bukanlah dongeng tetapi betul-betul riwayat yang pernah terjadi.

Sementara batas alam atau luas wilayah Minangkabau menurut kisah tambo dilukiskan dengan cara yang tidak mudah diperkirakan. Dikisahkan bahwa batas Minangkabau itu dimulai dari sikilang air bangis sampai taratak air hitam, dari sipisok-pisok pisau hanyut sampai sialang bersengat besi, dari riak yang berdebur sampai ke durian ditekuk raja[8].

Batas yang abstrak ini memang memberikan makna yang beragam. Ada beberapa wilayah atau tempat yang sepertinya nyata ada, sehingga dapat menimbulkan fantasi atau tafsiran-tafsiran dalam memperkirakan batas wilayah Minangkabau.

Masyarakat Minangkabau menyebut wilayahnya dengan alam Minangkabau. Wilayah Minangkabau terdiri atas darek, pasisia, dan rantau. Darek, adalah daerah yang berada di sekitar Gunung Singgalang, Sago, dan Merapi yang terdiri atas tiga luhak, yakni Luhak Tanah Data, Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluah Koto. Darek ini disebut juga sebagai daerah asal Minangkabau. Pasisia, adalah daerah yang berada di sepanjang pantai bagian barat-tengah pulau Sumatra, yang dimulai dari bagian utara Provinsi Bengkulu sampai bagian selatan dari Provinsi Sumatra Utara atau sebagian daerah Tapanuli Selatan. Rantau, adalah daerah tempat aliran sungai yang bermuara ke Timur yang berbatasan dengan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, bahkan sampai ke Malaysia, yang disebut sebagai Rantau nan Sambilan (Negeri Sembilan).

Pasisia dan rantau penyebutannya sering disatukan menjadi rantau saja. Darek sebagai daerah asal, rantau sebagai daerah perkembangan atau daerah taklukan. Hal ini tercermin dalam aturan adat Minangkabau yang menyatakan bahwa luhak ba rantau (luhak mempunyai rantau). Orang-orang yang mendiami daerah rantau dan pasisia awalnya adalah orang darek. Akibat perkembangan penduduk dan mendesaknya kebutuhan hidup dan perekonomian, maka beberapa keluarga yang berasal dari darek melakukan migrasi. Masyarakat Luhak Tanah Data dan Luhak Agam memilih pindah ke pantai barat yang disebut pasisia, dan masyarakat Luhak Tanah Data dan Luhak Limo Puluah Koto pindah ke daerah timur yang disebut rantau.

Dalam tambo dikisahkan bahwa alam Minangkabau mempunyai luhak nan tigo (luhak nan tiga), yakni Luhak Tanah Data (Tanah Datar), Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluah (Lima Puluh) atau Limo Puluah Koto (Lima Puluh Kota)[9]. Setiap luhak mempunyai ciri atau identitas sendiri yang saling mereka pertahankan dan banggakan sebagai alat pemersatu dan pendorong semangat perlombaan dalam memelihara harga diri mereka sendiri. Perbedaan ciri antara luhak-luhak akan terlihat pada bentuk rumah adat, model pakaian resmi penghulu atau pengantin dan pengiringnya.

Ciri yang dilukiskan tambo tentang ketiga luhak itu ialah (1) Luhak Agam memiliki ciri buminya hangat, airnya keruh, ikannya liar, (2) Luhak Tanah Data bercirikan buminya lembang, airnya tawar, ikannya banyak, (3) Luhak Limo Puluah bercirikan buminya sejuk, airnya jernih, ikannya jinak[10]. Ungkapan tersebut mengartikan bahwa masyarakat Luhak Agam memiliki watak panas dan heterogen. Suatu nagari dengan nagari yang lainnya hidup dalam persaingan yang sangat tajam. Luhak Tanah Data memiliki masyarakat yang ramai dengan status yang tidak merata dan daerah ini adalah pusat Minangkabau. Luhak Limo Puluah mempunyai masyarakat yang homogen dan penuh kerukunan.

Bila dihubungkan dengan sistem administrasi pemerintahan Daerah Tingkat I Sumatra Barat sekarang, ketiga luhak tersebut termasuk ke dalam empat Kabupaten dan empat Kotamadya. Luhak Agam memiliki Kabupaten Agam dan Kotamadya Bukittinggi. Luhak Tanah Data memiliki Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Solok, Kotamdya Padangpanjang, dan kotamadya Solok. Luhak Limo Puluah memiliki kabupaten Lima Puluh Kota dan Kotamadya Payakumbuh. Perbandingan di atas tidak persis sama, sebab ada daerah yang secara budaya tidak termasuk wilayah luhak, namun secara administratif dimsukkan. Contohnya Tiku yang merupakan daerah rantau, namun secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Agam. Begitu juga dengan daerah Tandikek yang wilayah budayanya adalah budaya luhak Agam, namun secara administratif termasuk Kabupaten Padang Pariaman yang dikategorikan daerah rantau.

Luhak terdiri atas beberapa nagari dengan syarat bahwa nagari tersebut harus memiliki pandam pakuburan (TPU), masjid, pasar, dan sekurang-kurangnya didiami oleh empat suku yang berbeda[11]. Jika suatu kawasan belum memiliki keempat syarat tersebut, daerah tersebut belum bisa dinamakan nagari, dan masih dinamakan dengan dusun, koto atau taratak.

Nagari merupakan wilayah otonom dan bisa memiliki perbedaan adat. Hal ini sesuai dengan mamangan adat bahwa adat salingka nagari, pusako salingka kaum (adat selingkar negeri, pusaka selingkar kaum). Nagari dikepalai oleh suatu lembaga yang disebut Kaampek Suku yang merupakan wakil dari masing-masing suku yang menentukan kebijaksanaan dalam nagari.

Perbedaan adat yang terjadi antara satu nagari dengan nagari yang lain bukan tidak menyisakan persamaan. Adat di Minangkabau terbagi atas empat yaitu adat nan sabana adat, adat nan diadatkan, adat nan taradat, dan adat istiadat. Adat nan sabana adat adalah adat yang asli seperti hukum alam yang tidak pernah berubah. Adat nan diadatkan adalah undang-undang dan hukum. Dua jenis adat ini merupakan adat yang berlaku bagi seluruh nagari.

Adat nan taradat adalah aturan yang dilahirkan berdasarkan mufakat oleh masyarakat yang memakainya, sedangkan adat istiadat adalah kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat dan yang berhubungan dengan upacara (bersifat seremonial). Dua jenis adat yang terakhir ini kemungkinan berbeda antara satu nagari dengan nagari yang lain sangat besar dan masing-masing masyarakat mengakui adanya perbedaan tersebut serta saling menghormati. Jika terjadi silang budaya seperti perkawinan antar nagari maka kedua belah pihak akan melakukan kompromi untuk mencari jalan keluarnya, adat mana yang akan dipakai.

Secara etnografis, rantau adalah wilayah Minangkabau yang terletak di luar wilayah luhak nan tigo. Secara administratif wilayah rantau hanya sebagian saja yang masuk wilayah Sumatra Barat. Rantau timur hanya meliputi Kabupaten Sawahlunto Sijunjung dan rantau barat meliputi Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pesisir Selatan, dan Kotamadya Padang. Wilayah rantau yang lain termasuk wilayah administrasi pemerintahan Bengkulu, Aceh, Riau, Jambi, Sumatra Utara, dan Negara Bagian Negeri Sembilan Malaysia.

Daerah rantau bagian barat menghadap ke samudera Indonesia berupa dataran rendah yang menyusuri pantai barat Sumatra, mulai dari Bengkulu bagian utara sampai Aceh bagian selatan. Daerah rantau bagian timur mengikuti aliran sungai yang menghadap ke selat Malaka sampai ke Negeri Sembilan Malaysia. Tentang Negeri Sembilan sebagai daerah rantau karena dalam sejarah Minangkabau dinyatakan bahwa pembesar dari kerajaan Pagaruyung yang bernama Tuan Mangkudum bertanggungjawab dalam membidangi agama Islam di sini[12].

Secara administratif perbedaan antara luhak dengan rantau adalah luhak mempunyai penghulu, sedangkan rantau memiliki raja, namun raja lebih bersifat kultural. Menurut Navis[13] yang membedakan daerah rantau dengan luhak ialah dari sistem pemerintahannya, dapat dijumpai dalam pepatah luhak bapanghulu, rantau barajo (luhak perpenghulu, rantau beraja). Konsekuensi dari sistem tersebut, nagari di wilayah rantau dipimpin oleh raja yang ditunjuk dan diangkat oleh kerajaan pusat di Pagaruyung. Raja-raja di rantau dijabat secara turun temurun menurut sistem patrilineal dengan gelar jabatan seperti Rang Kayo dan Tuah. Ini terdapat di wilayah rantau sebelah timur. Gelar raja di rantau sebelah barat adalah Rang Gadang dan Bagindo, bahkan ada yang bergelar Rajo yang ditambah di belakangnya menjadi Rajo Mudo dan Rajo Kaciak. Gelar Rajo biasanya diberikan kepada penguasa nagari di rantau yang berasal dari keturunan raja Pagaruyung.

III

Di Mentawai tidak dikenal fungsi khusus sebagai seniman. Karena segala bentuk seni selalu dikaitkan dengan dunia ritual keagamaan yang semua orang harus bisa melakukannya. Barang-barang yang ditampikan seperti ukiran kebanyakan dibuat sendiri oleh pemiliknya dalam bahasa orang Mentawai disebut sibakkat yang berarti pencipta. Adakalanya mereka butuh bantuan orang lain tetapi sifatnya hubungan kerja yang dibayar dalam bentuk makan-makan bersama.

Ritual terbesar yang dimiliki oleh orang Mentawai adalah upacara puliaijat, yaitu perayaan religius yang besar dari kelompok uma. Alasan lahiriah untuk mengadakan upacara ini biasanya adalah terjadinya suatu peristiwa yang luar biasa, seperti munculnya pertanda buruk, pembelian gong, kematian salah seorang kerabat, dan sebagainya. Karena persiapan-persiapan untuk perayaan tersebut cukup lama, maka sejumlah peristiwa dikumpulkan menjadi satu perayaan. Perayaan puliaijat yang benar-benar lengkap berlangsung selama beberapa minggu. Selama perayaan masyarakat uma yang bersangkutan tidak boleh melakukan kegiatan yang bercorak produktif.

Perayaan puliaijat dipimpin seseorang yang diberi gelar rimata (pemimpin upacara dari kelompok uma). Rimata biasanya pria yang sudah berumur dan paling hafal mantra-mantra, ia yang melakukan tindakan-tindakan ritual tertentu, mewakili segenap hadirin.

Puliaijat selalu dilangsungkan dalam lingkungan yang tertutup secara mutlak. Apabila perayaan sudah dimulai, orang luar tidak boleh lagi menginjakan kaki dalam uma. Hanya pada pembukaan upacara saja mereka mengundang dukun dari kelompok uma yang lain. Lalu mereka harus meninggalkan upacara dengan mambawa daging babi sebagai ucapan terima kasih.

Puncak upacara puliaijat adalah pemanggilan roh dalam bentuk tarian musikal dan nyanyian. Penanda bahwa roh telah datang adalah adanya sejumlah orang yang mengikuti upacara mengalami trance. Kemudian mereka mengajak roh melakukan tarian-tarian. Gendang ditabuh dengan bunyi yang khas dengan iringan genta yang dimainkan rimata atau sikerei. Semuanya adalah bertujuan mengharmoniskan hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan sang pencipta (Tuhan).

Sementara di Minangkabau seni ritual yang masih ada sampai saat ini diantaranya adalah dikie dan ratik. Tetapi wujudnya tidak sama dengan ritual Mentawai yang memakai konsep keagamaan nenek moyang. Kesenian dikie dan ratik lebih berorientasi pada menyebut dan menganggungkan asama Allah dalam Islam. Ratik Tulak Bala misalnya merupakan usaha manusia menganggungkan Allah supaya manusia dijauhkan dari bencana. Bencana tersebut biasanya disebabkan oleh ulah manusia yang menghancurkan keharmonisan.

IV

Dari konsep menjaga keseimbangan (keharmoniasan) antara hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan-nya ini kolaborasi seni bisa diciptakan antara seni ritual Mentawai dengan seni Minangkabau. Konsep seni ritual bumi mencoba meramu komponen yang bisa disatukan antara seni ritual Mentawai dengan seni Minangkabau dan juga tidak menutup kemungkinan untuk masuknya konsep seni modern maupun kontemporer.

Melihat perkembangan Mentawai saat ini (apalagi telah menjadi kabupaten sendiri) akan ada perubahan besar yang akan terjadi di Mentawai untuk itu perlu adanya pengolahan yang besar untuk kepentingan menjaga tradisi yang selama ini ada. Karena melihat model kebudayaan di Mentawai ada indikasi bahwa akan banyak perubahan yang menuju pada penghilangan identitas lokal, karena umumnya rasionalitas belum terbentuk.

Bentuk yang ditawarkan juga tidak bisa memberi label terhadap seni tertentu. Seluruh unsur seni (tari, musik, teater dan sebagainya) menyatu dalam bentuk satu pertunjukan. Hal ini biasa terjadi dalam kesenian tradisional dimanapun. ***

Padangpanjang, 2005


[1] Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. Prof. Dr. R.M. Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Hal. xx

[2] Dibia, I Wayan. 1999. Seni Di Antara Tradisi dan Modern. Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Madya Pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar. Bali. Hal. 2

[3] Rahzen, Taufik. 1998/1999. “Keragaman dan Silang Budaya: Mencari beberapa Agenda”. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th. IX: Bandung. Hal. viii

[4] Barrucha, Rustom. 1998/1999. “Interkulturalisme dan Multikulturalisme di Era Globalisasi: Diskriminasi, Ketidakpuasan, dan Dialog”. Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia Th. IX: Bandung. Hal. 14

[5] Bagus, I Gusti Ngurah. 2001. "Reformasi, Multikulturalisme, dan Masalah Politik Bahasa di Indonesia". Makalah Seminar di Program Studi S2 dan S3 Kajian Linguistik Universitas Udayana Denpasar-Bali pada tanggal 25 Mei 2001. hal. 9-11

[6] Rahzen. op.cit

[7] Schefold, Reimar. 1991. Mainan Bagi Roh: Kebudayaan Mentawai. Balai Pustaka: Jakarta. Hal. 13

[8] Navis, A..A. 1986. Alam Terkembang Jadi Guru Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press. Hal. 53-54

[9] Ibid

[10] Ibid

[11] Ibid

[12] Hamka. 1985. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hal. 11

[13] Navis, loc.cit.hal 105

Penganten Ombak: Ikonitas Kultur Yang Terbelah

Pertunjukan Tari Ali Sukri

OLEH SAHRUL N

Pertunjukan tari Ali Sukri yang berjudul “Penganten Ombak” merupakan pembelahan budaya lewat ikon-ikon gerak yang diuniversalkan. Properti sedemikian rupa membentuk alur-alur kehidupan yang senantiasa bergerak tanpa henti dan menuju berbagai makna tentang hidup manusia. Hanya lewat selembar plastik besar, pertunjukan ini sarat dengan konflik bathin manusia, terutama manusia yang sedang dilanda bencana. Dalam hal ini tragedi Aceh menjadi inspirasi utama pertunjukan ini. Perang saudara belum berakhir datang lagi bencana yang hampir tidak menyisakan apa-apa. Akan tetapi ini semua ada hikmahnya. Tuhan seakan tidak tega melihat derita rakyat Aceh akibat perang yang tak pernah usai. Tuhan meminangnya dan menjauhkannya dari arena perang.

“Penganten Ombak” jelas menyiratkan bahwa bencana yang datang dari laut (baca: tsunami) begitu memilukan dan alam seakan meminang umatnya untuk dijadikan pahlawan dan menempatkannya di surga keabadian bersama kekasihnya. Plastik yang digoyang mengalun seperti ombak besar yang diiringi nyanyian dan ratapan kematian. Gerak penari yang gemulai membentuk tubuh-tubuh yang bicara, tubuh-tubuh yang bermakna.

Sumber gerak dalam pertunjukan ini adalah kolaborasi gerak tari tradisi (Minangkabau) dan gerak tari modern serta gerak tari kontemporer. Tari tradisi dijadikan dasar berpijak untuk menuju pertunjukan yang lebih kontemporer. Hal ini juga merupakan konsep interkulturalisme dalam dunia seni tari. Interkulturalisme merupakan persoalan keberagaman dan silang budaya yang dihadapi setiap komunitas (dalam hal ini adalah tari) dan mencegat kesadaran masyarakat terbuka. Istilah ini merujuk pada proses kerjasama, interaksi dan persilangan antar kelompok budaya yang memiliki fenomena budaya tari. Silang budaya memperoleh dimensinya yang baru berkenaan dengan persentuhan yang intensif antar kebudayaan baik karena proses globalisasi maupun revolusi media. Persentuhan antar budaya, tidak saja melampaui batas-batas geografis, tetapi juga bersilangan dalam dimensi waktu yaitu bergerak ke masa lampau dan masa depan. Pemadatan ruang dan waktu dalam proses silang budaya, membongkar kelaziman transmisi nilai yang biasanya diwariskan generasi ke generasi.

“Penganten Ombak” hadir dengan bentuk yang kontemporer berbasis tradisi. Proses kolaborasi bukan membunuh gerak tari tradisi, tetapi mencoba memadukan gerak tradisi dengan gerak modern sehingga menciptakan sesuatu yang nampak baru dan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat yang mendukungnya. Gerak tradisi tetap hidup dan berkembang sesuai dengan fungsinya. Penciptaan sesuatu yang baru justru akan menambah kekayaan karya tari yang ada di Indonesia. Di sini perubahan itu akan terlihat.


Konsep makna budaya yang tercermin lewat ikon-ikon semiosis seakan terbelah dalam ruang dan waktu. Karya tari bicara lewat gerak universal yang muncul akibat adanya kolaborasi dari gerak-gerak yang sudah ada. Tak perlu ada kata yang ada adalah tanda. Dalam seni pertunjukan tari, tanda-tanda verbal itu menemukan keutuhannya, sebab seni pertunjukan tari adalah dunia imajinatif yang lengkap dengan segi ruang dan waktu serta gerak. Makna pernyataan seluruh peristiwa yang ada dalam pertunjukan tari “Penganten Ombak” yang diutarakan secara linear merupakan sebuah keutuhan pula. Penyebab konotatif itu sendiri adalah fakta dari peristiwa stunami yang telah dimodifikasi dan interpretatif yang sesuai dengan konteks action yang diinginkan subjektivitas pengarangnya.

Tanda budaya dalam “Penganten Ombak” merupakan peranan metalingual. Hal ini terlihat pada saat tari tersebut dipertunjukan dan dihubungan dengan persoalan-persoalan realitas budaya yang membangunnya. Latar sosial budaya yang terdapat dalam pertunjukan tari ini memungkinkan adanya kesinambungan budaya sebelumnya. Bisa juga merupakan penyimpangan budaya sebelumnya, baik sebagian maupun keseluruhannya terhadap budaya yang telah mapan. Dalam pertunjukan tari Ali Sukri akan terlihat budaya yang melingkupinya yaitu kebudayaan Minangkabau dan budaya kontemporer. ***

Indonesia: Sophisme Yang Merajalela

OLEH SAHRUL N

Memahami Indonesia hari ini adalah memahami sesuatu yang absurd, yang tercerai berai oleh sistem yang tak jelas. Di satu sisi Indonesia memiliki Presiden sebagai orang nomor satu dengan demokrasi Pancasila sebagai ideologinya.

Namun pada sisi yang lain sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap Raja sebagai panutannya. Artinya di dalam satu negara kesatuan yang luas ini ada daerah yang memiliki raja. Hal ini mengakibatkan terjadinya persaingan antar etnis yang masing-masing mereka memiliki keinginan-keinginan sendiri atas negara yang mereka miliki. Masyarakat Aceh ingin menerapkan hukum Islam, Dayak merasa "dijajah" oleh Madura, Melayu Riau merasa diperas, Maluku telah menjadi medan peperangan antar agama, sementara Jawa merasa memiliki Indonesia. Pertentangan dalam keberagaman ini akan selalu terjadi bila jalan keluarnya tak pernah ditemukan. Indonesia hari ini adalah negara tanpa identitas dan negara-negara yang dipenuhi oleh shopisme-sophisme. Sophisme berarti pemikiran palsu yang bertujuan untuk menipu, dimana di Indonesia saat ini, pemerintah seperti melakukan pembenaran-pembenaran terhadap kekacauan yang ada. Pembunuhan rakyat merupakan kebenaran, pencurian merupakan kebenaran, fitnahan merupakan pembenaran. Di samping itu pemerintah juga meminta masyarakat agar sabar dan tahan menghadapi mereka di bawah dispensasi baru. Ini merupakan sophisme-sophisme.

Kekacauan identitas di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak Indonesia ini ada. Merujuk pendapat Benedict Anderson bahwa apa yang digembor-gemborkan oleh tokoh-tokoh nasional Indonesia tentang penjajahan Belanda di Indonesia tidak seluruhnya benar. Tidak semua walayah Indonesia --yang sekarang ini-- yang dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Sebahagian besar wilayah Indonesia hanya dijajah selama 60 tahun atau dalam kurun waktu 1850-1910. Hal ini menurut Benedict Anderson merupakan kerancuan atau penipuan sejarah yang mengakibatkan Indonesia itu penuh dengan imajinasi-imajinasi. Indonesia dibangun oleh kerangka imajinasi; imajinasi sejarah, imajinasi hukum, imajinasi politik dan imajinasi-imajinasi lainnya. Maka sophisme sejarah juga terjadi.

Sementara Y.B. Romo Mangunwijaya menjelaskan, dulunya konsep dan sosok negara tak lebih hanya instrumen, diadakannya demi pengangkatan orang kecil. Pengangkatan marhaein dan bukan proletariat komunis. Proletariat komunis cuma buruh dan tani, sedangkan marhaein meliputi semua rakyat kecil. Inilah yang diselewengkan oleh kekuasaan hari ini.

Lalu kemudian lama kelamaan terjadi perubahan prioritas, perubahan jiwa dan roh. Sepertinya kita kembali lagi ke jaman Hindia Belanda, dengan menempatkan posisi rakyat menjadi tidak berdaya, karena tidak adanya kepastian hukum, tidak adanya perlindungan hak dan yang utama tidak dihargainya keberadaan dan aspirasinya. Kepentingan rakyat kecil hari ini hanyalah nomor kesekian dari banyak kepentingan-kepentingan individu yang didahulukan.

Untuk itu dalam memahami negara yang absurd, diperlukan pemikiran yang kompleks dengan mencoba memadukan pemikiran-pemikiran yang ada, seperti halnya memadukan konsep idealisme dan materialisme. Memang kedua konsep pikiran ini saling bertentangan namun keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan dalam memandang gejala budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat. Idealisme menurut ilmu sosial adalah doktrin bahwa ciri-ciri dasar kehidupan sosial manusia merupakan hasil dari sifat dasar pemikiran dan ide manusia.. Sedangkan materialisme menurut ilmu sosial merupakan cara pandang bahwa keadaan dasar kehidupan sosial berasal dari "kondisi material kehidupan sosial", seperti ekonomi, lingkungan fisik, dan tingkat teknologi.

Lebih jauh Sanderson menjelaskan bahwa pendekatan-pendekatan idealis berusaha menjelaskan ciri dasar kehidupan sosial dengan merujuk kepada daya kreatif pikiran manusia. Pendekatan ini mempercayai bahwa keunikan manusia terletak dalam fakta bahwa manusia memberikan makna-makna simbolik bagi tindakan-tindakan mereka. Manusia menciptakan rangkaian gagasan dan cita-cita yang rinci dan menggunakan konstruk mental ini dalam mengarahkan pola perilaku mereka. Berbagai karakteristik pola perilaku yang berbeda-beda dalam masyarakat yang berbeda dilihat sebagai hasil serangkaian gagasan dan cita-cita yang berbeda pula.

Sementara pendekatan materialisme menolak keras berbagai jenis teori yang ditelorkan oleh ilmuwan-ilmuwan idealis. Pemikir materialis berusaha menjelaskan ciri-ciri dasar kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan kondisi praktik-material dari eksistensi manusia. Kondisi-kondisi ini meliputi sifat lingkungan fisik, tingkat teknologi, dan sistem organisasi ekonomi. Para materialis melihat berbagai faktor ini sebagai pembentuk prasyarat dasar eksistensi manusia. Bagian terpenting dari kehidupan manusia adalah adabtasi terhadap lingkungan fisik, dan ini harus dilakukan dengan menciptakan tekonlogi dan sistem ekonomi. Sekali teknologi dan sistem ekonomi diciptakan, maka ia akan menentukan sifat pola-pola sosial lain yang dilahirkan masyarakat manusia. Jenis teknologi dan sistem ekonomi yang berbeda akan melahirkan jenis pola-pola sosial yang berbeda pula. Bahkan, para materialis umumnya menganggap gagasan dan cita-cita manusia berasal dari pola-pola sosial yang diciptakan sebelumnya.

Idealisme yang terkenal adalah idealisme yang dikembangkan oleh ahli filsafat sejarah yaitu Hegel dengan mengemukakan bahwa kebebasan merupakan "ide". Sekalipun demikian, kebenaran tentang universalitas formal yang karena dirinya sendiri tidak menentukan dan menerima ketentuan dari masing-masing materi yang dengan itu merupakan kesadaran yang diaplikasikan dalam sebuah universalitas yang menentukan dirinya sendiri, yang merupakan kehendak, adalah kebebasan. Karena kehendak itu memiliki universalitas, dirinya sendiri sebagai bentuk yang tidak terbatas, karena isinya, objeknya, dan tujuannya, ia bukan hanya kehendak yang bebas di dalam dirinya, melainkan kehendak yang bebas untuk dirinya. Idealisme Hegel ini erat kaitannya dengan sejarah, dimana nanti juga merupakan rujukan oleh Karl Marx untuk membuat konsep materialisme historis dan Engel dengan konsep materialisme dialektis. Marx menjelaskan bahwa penggilingan dengan tangan menghasilkan masyarakat tuan-tuan feodal, penggilingan dengan uap menghasilkan masyarakat kaum kapitalisme industri. Sedangkan materialisme menganggap bahwa hakekat seluruh realitas adalah materi dengan menunjuk faktor-faktor sejarah. Jadi bukan dari pemikiran melainkan oleh keadaan material manusia.

Tokoh-tokoh yang terkenal yang menganut paham idealisme setelah Hegel adalah Strukturalis Perancis yang juga antropolog Claude Levi-Strauss, kemudian Sherry Ortner, Marshal Sahlin, dan Talcott Parsons. Sementara tokoh-tokoh materialisme adalah Karl Marx, Friedrich Engels, Marvin Harris dan lain-lain. Sedangkan Max Weber merupakan ahli yang tidak bisa dikatakan materialis dan juga bukan idealis. Dalam kenyataanya, Weber sering disebut sebagai seorang pemikir yang mengkombinasikan pola penjelasan materialis dan idealis dalam pendekatan sosiologi yang bersifat menyeluruh. Jadi Weber berpendapat bahwa gagasan bukan semata hasil dari kondisi-kondisi material yang ada, tetapi keduanya seringkali memiliki signifikansi kausalnya sendiri-sendiri.

Indonesia hari ini, merupakan negara yang sedang terpuruk dalam lumpur krisis yang paling dalam. Tidak hanya krisis ekonomi, namun juga krisis mental dan krisis identitas. Tak ada lagi yang bisa dipercaya dari Indonesia, yang ada hanyalah sophisme-sophisme. Hal ini bisa dilihat dari pandangan-pandangan negara lain terhadap Indonesia. Indonesia adalah negara terkorup di dunia, tersadis di dunia, paling banyak hutang dan lain-lain yang arahnya tetap pada posisi negatif. Betapa mengharukan dan menyedihkan, namun kita tidak bisa berbuat apa-apa. Memang pada satu sisi, apa yang dikatakan dunia internasional, tidak seluruhnya benar, karena mungkin ada kepentingan-kepentingan tertentu di dalamnya. Seperti yang dikatakan oleh Edwar W. Said bahwa ada kepentingan-kepentingan tertentu dunia barat dalam memandang dunia timur. Kepentingan yang mengarah pada hegemoni barat dalam menguasai dunia dalam segala bidang. Pada dasarnya dunia barat menginginkan posisinya tetap yang teratas dan memposisikan dunia timur sebagai dunia primitif.

Namun melihat kenyataan yang ada, di Indonesia memang sedang terjadi "kegelapan" yang yang menyeluruh. Di Kalimantan banyak kepala-kepala yang berserakan, di Aceh darah berceceran dimana-mana, di Maluku luka tak pernah sembuh. Di saat itu pula para politisi sibuk merapikan baju masing-masing dan mengeratkan ikat pinggang untuk kepentingan-kepentingan sendiri-sendiri. Betapa memalukan, sehingga Taufik Ismail memberi judul kumpulan puisinya dengan "Malu Aku Jadi Orang Indonesia". Lalu dengan apa kita harus memahami Indonesia ini? Saya kira tidak bisa hanya lewat ide-ide atau pemikiran-pemikiran (idealisme) saja atau hanya lewat materialisme saja. Harus ada kedua sistem ini dalam memandang Indonesia. Dimulai dari materialisme baru kemudian dikembangkan dalam tataran idealisme. Seperti yang dikatakan oleh Camus bahwa jika manusia adalah “suatu spesies material semata”, ia hanya mungkin diperlakukan sebagai objek dan sebagai objek eksperimen.

Dalam tataran praksis, antara idealisme dan materialisme tidak jauh berbeda, hanya saja cara berangkat dari keduanya memiliki perbedaan. Kalau idealisme memulainya dengan ide-ide yang cemerlang, sementara materialisme memulainya dengan bentuk atau kenyataan yang sudah ada. Pada dasarnya idealisme dan materialisme sama-sama mengadopsi pemikiran Hegel. Seperti yang diungkapkan Camus bahwa materialisme ilmiah dan ateisme secara pasti menggantikan paham antiteisme dari para pemberontak pada waktu-waktu yang lalu dan terlalu berpihak --dibawah pengaruh Hegel-- pada suatu gerakan revolusioner yang, sampai tiba masanya, adalah tidak benar-benar terpisah dari asal usul moralnya yang bersifat evangelis dan idealistik.

Orisinalitas Marx terletak dalam penegasannya bahwa sejarah, secara serempak, dialektik dan ekonomik. Hegel sebenarnya lebih ekstrim lagi, menegaskan bahwa sejarah adalah materi (matter) dan sekaligus semangat (spirit). Marx menolak semangat sebagai substansi yang definitif dan memperkokoh materialisme-historis. Hal ini ditanggapi oleh Berdayaev tentang ketidakmungkinan mendamaikan antara dialektika dengan materialisme. Dialektika sama halnya dengan idealisme hanya bisa berada dalam pikiran. Bahkan materialisme sendiri merupakan gagasan yang ambigu. Dengan hanya merumuskan kata itu, maka haruslah diterima bahwa tentu saja ada sesuatu, di dalam dunia ini yang lebih unggul dari materi itu sendiri.

Untuk itu dalam memahami sebuah negara --seperti Indonesia-- maka konsep materialisme idealistik adalah konsep yang cocok, karena tidak mungkin hanya memikirkan sesuatu tanpa melihat keadaan. Kehadiran materi harus diimbangi dengan pemikiran yang kompleks. Sama halnya dengan I Wibowo yang memberi kata pengantar buku Giddens bahwa orang cenderung untuk memikirkan “jalan ketiga” ini sebagai pilihan ketiga antara sosialisme dan kapitalisme. Bagi Giddens sendiri melihat masa sekarang merupakan masa yang diliputi oleh ketidakpastian. Untuk itu harus ada jalan tengah yang mencoba menggabungkan unsur-unsur yang bisa diterima dari sosialisme dengan unsur-unsur yang juga bisa diterima dari kapitalisme. Seperti contoh yang ditulis oleh sosialis Indonesia yang cerdas pada tahun 1951, Lintong Mulia Sitorus, bahwa sampai akhir abad ke-sembilan belas, orang-orang kulit berwarna masih tidur dengan pulasnya, selagi orang-orang kulit putih sudah sibuk bekerja di setiap lapangan. Kenyataan ini menandakan bahwa kelemahan sosialis adalah semangat kerja yang merupakan kelebihan bagi kapitalisme. Sedangkan kesenjangan yang berlebihan antara pemilik modal dengan kaum buruh merupakan kelemahan kapitalisme yang juga merupakan kelebihan dari sosialisme.

Kalau kita berkaca pada masa lalu yaitu pada masa orde baru yang kita ambil buahnya hari ini, memang banyak sekali kebobrokannya. Undang-undang digunakan oleh penjahat-penjahat berdasi yang mengubah dirinya menjadi hakim untuk dirinya sendiri. Kesalahan selalu terletak di pundak mereka yang tak mampu membeli keadilan. Hukum sebagai sesuatu yang ideal tidak pernah membenarkan sesuatu yang salah. Lalu kesalahan terletak pada pelaksanaan dan ini merupakan tataran materi yang hadir hari ini.

Secara materialisme, keadaan Indonesia sedang berada dalam lubang krisis yang paling dalam. Pengangguran yang semakin berlipat ganda, mengakibatkan banyaknya tindak kejahatan. Maling dengan santai, tanpa merasa bersalah berlalu seperti tidak terjadi apa-apa. Lalu akan timbul pertanyaan, kenapa orang melakukan tindak kejahatan? Maka jawabanya secara materialisme adalah karena mereka tidak mampu secara materi untuk mempertahankan hidup yang semakin keras. Usaha untuk menanggulangi hal ini adalah dengan cara meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kalau masyarakat sudah makan secara wajar maka tingkat kejahatan itu akan menurun dengan sendirinya. Kecuali tingkat kejahatan besar seperti korupsi.

Untuk pemikiran hari ini, tidak mungkin menerapkan materialisme murni seperti keinginan Marx yang tumbuh pada ratusan tahun yang lalu dan dalam konteks perubahan yang berbeda. Seperti yang dikatakan Derrrida bahwa tidak mungkin menghadirkan kembali marx dengan segala pemikiran-pemikirannya, karena waktunya tidak nyambung. Waktu bagi Derrida adalah perubahan, dan Marx pun harus dipahami sebagai sesuatu yang berubah.***

Kesenian Tradisi Indonesia dalam Wacana Kebinnekaan

(Catatan Festival Nasional Seni Pertunjukan 2003)

OLEH SAHRUL N

Wilayah Indonesia yang kaya dengan pulau-pulau serta suku-suku bangsa, juga kaya dengan jenis-jenis kesenian tradisional. Jenis kesenian tradisional yang telah mapan dan sangat erat hubungannya dengan tradisinya merupakan kesenian yang kekuatan daya hidupnya tergantung dengan kebesaran budaya dan tata masyarakat dan budaya yang mendukungnya. Kesenian tradisional (traditional arts) tak lepas dari lingkungan yang menghidupinya. Khasanah pertunjukannya adalah rakyat setempat dan mitologi yang berkembang di daerah yang bersangkutan. Sikap sosial para pendukungnya masih dipengaruhi kultur lingkungan, kepercayaan-kepercayaan kepada leluhur dan sebagainya.

Hal tersebut di atas terlihat dalam Festival Nasional Seni Pertunjukan 2003 (FNSP 2003) pada tanggal 19-21 Oktober 2003 di STSI Padangpanjang, Sumatra Barat. Acara ini dihadiri oleh 20 Provinsi, namun yang tertera dalam katalog hanya ada 15 Provinsi, yaitu Banten, Kaltim, Jatim, Sulteng, Yogyakarta, Sumut, Riau, Babel, NTT, Lampung, Sumbar, NAD, Sumsel, Jambi, dan Jabar. FNSP 2003 ini diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dalam menyemarakan Kongres Kebudayaan V di Bukittinggi. Dari 20 pertunjukan tersebut terpilih 5 penampil terbaik yaitu NAD, Yogyakarta, Jatim, Bali, dan Papua. Sedangkan penampil favorit diraih oleh utusan Jabar.

Seniman-seniman tradisi dalam berkreasi akan menjadi tokoh-tokoh yang eksistensialis. Dasar filsafat dan pandangan hidup yang horizontal dan lugu. Namun dalam keluguan itu akan ada semacam keangkuhan yang fanatik terhadap dirinya. Umumnya kesenian tradisional dalam memainkan perannya sangat meyakini akan keberadaan tokoh yang sedang dimainkan. Hal ini terlihat dari penampilan utusan Yogyakarta yang berkait dengan keyakinan yang ada dalam diri seniman tersebut. Sikap menyesuaikan diri dengan peran dan lakon adalah pilihan yang tepat bagi seniman tradisional, bukan mengosongkan diri untuk mengolah kesadaran dan menjadi apa saja. Berperan bagi seniman kesenian tradisional adalah bertolak dari sikap yang diolah dari unsur-unsur luar.

Kesenian tradisional adalah sebuah pesona atau dalam istilah Putu Wijaya "taksu". "Tenaga dalam" pada seorang pemain yang menciptakan karisma yang memiliki daya magnetik. Karena taksu, seorang pemain dapat menaklukan penonton secara total. Dalam tontonan yang ditampilkan oleh utusan Bali, para pemain bagaikan dewa-dewa yang bisa berbuat apa saja di atas pentas. Bahkan kesalahan-kesalahan pun menjadi benar, kalau mereka yang melakukannya. Di tangan mereka plot menjadi mati.

Kesenian tradisional adalah milik masyarakatnya. Para penonton rela menempuh jalan berkilo-kilo hanya untuk menonton wayang yang ceritanya sebenarnya telah mereka ketahui. Mereka sudah tahu bahwa Pandawa sudah pasti menang dalam cerita Mahabharata, karena memang mereka telah menontonnya berkali-kali.

Apa yang menjadi kesenian tradisional di Bali dan Jawa akan berbeda dengan kesenian tradisional yang ada di Minangkabau. Randai adalah kesenian tradisional Minangkabau yang mengutamakan cerita. Bentuk bagi mereka tidak begitu penting. Kesenian tradisi Minangkabau memiliki falsafah yaitu “serius dalam bermain-main”. Efek tontonan (spektacle) tidak menjadi unsur yang penting.

Sebenarnya dalam kesenian tradisional, tidak ada tuntutan untuk memusatkan perhatian terhadap tontonan. Penonton boleh datang terlambat dan mondar mandir meninggalkan tempat duduk tanpa membuat penonton lain menggerutu. Bahkan ada pementasan kesenian tradisional itu yang tidak memiliki tempat duduk untuk penonton. Penonton boleh saja duduk dimana dia suka. Penonton kadang-kadang menjadi bagian dari pementasan, karena mereka sering memberikan sambutan atau respons terhadap pementasan, baik itu berupa siulan ataupun cemoohan. Menikmati pementasan kesenian tradisional juga boleh sambil ngobrol dengan teman duduk, merokok, makan kacang dan lain-lain. Mereka begitu santai dan dalam kesantaian itu mereka bermain serius.

Akan tetapi yang terjadi di FNSP 2003 tidak lagi seperti tradisi yang lama, akan tetapi telah menjadi tontonan yang elite. Mereka dikumpulkan dalam satu ruangan yang ber AC, bangku ditata rapi, pencahayaan modern. Penonton tidak boleh merokok, makan kacang dan sebagainya. Hal ini memang menimbulkan jarak antara kesenian dengan penontonnya yang dulunya hal ini tidak pernah dilakukan. Seharusnya mereka ditampilkan di arena yang bebas dimana kesenian tersebut bisa menyatu dengan penontonnya. FNSP 2003 seakan dilakukan seperti layaknya kesenian untuk raja-raja yang menganut sistem aristokrasi.

Suasana santai dan kebersamaan dalam pementasan kesenian tradisional adalah ketika pementasan tersebut diadakan di pedesaan yang mayoritas penontonnya adalah masyarakat biasa. Akan berbeda halnya kalau pementasan tersebut dipementasan di dalam istana kerajaan, maka suasana santai dan kebersamaan akan hilang. Pengaruh dari sikap sopan santun, tata tertib di istana membuat suasana itu menjadi berubah. Begitu juga yang terjadi di FNSP 2003.

Artaud dalam bukunya Theatre and its double memuat sebuah tulisan tentang teater Bali. Artaud menghayati benar tarian Bali yang dilihatnya dalam suatu eksebisi di Paris. Menurut Artaud akting dan pemanggungan tidak cukup sekedar dipandang sebagai sajian simbol-simbol dari bahasa yang bersifat rahasia dan tidak kelihatan. Kesenian tradisional murni adalah teater di mana antara konsep dan realisasinya serupa. Jadi kesenian tradisional mengarah pada totalitas bermain yang tidak dimiliki oleh kesenian Eropa dan Amerika.

Kesenian tradisional atau kesenian daerah mencakup hal-hal yang bersifat emosional, fisikal, spritual, dan intelektual. Dalam menikmati tontonan, masyarakat merasa terlibat, kalau ada adegan yang menakutkan, maka penonton juga merasa takut. Begitu juga dengan adegan menyenangkan, sedih dan lain-lain yang membuat penonton juga larut dalam perasaannya. Pementasan kesenian tradisional juga memberikan santapan pada jiwa, karena di dalamnya berisi ajaran-ajaran agama, adat, filsafat hidup yang digambarkan lewat perjuangan seniman dalam melawan kejahatan. Ini membuat penonton berpikir dan menilai mana yang baik dan mana yang buruk.

Kesenian tradisional juga memiliki keunikan, seperti kesenian tradisional Bali yang hampir-hampir tidak ada adegan yang tidak ada tariannya. Semuanya diungkapkan lewat tarian yang khas, sehingga kesenian tradisional Bali sering juga disebut dengan sendratari. Di Minangkabau, kesenian tradisional seperti Randai memiliki keunikan penokohan. Seorang kakek atau nenek tidak harus menggambarkan sosok kakek atau nenek seperti dalam kenyataan sehari-hari. Dia cukup dipanggil kakek atau nenek maka jadilah ia kakek atau nenek, walau penampilannya seperti manusia berumur belasan tahun. ***

Padangpanjang, 25 Oktober 2003

Teater Indonesia, Refleksi Identitas Kebhinekaan

(Catatan Menjelang Pekan Apresiasi Teater 2003 STSI Padangpanjang)

Oleh Sahrul N

Wacana multikulturalisme telah merambah seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari persoalan politik, sosial, rasa kebangsaan, kebudayaan, sampai pada persoalan kesenian yang salah satunya adalah teater. Multikulturalisme ada yang memahaminya sebagai penekanan terhadap ras yang mengacu pada keanekaragaman yang menunjukan keharmonisan, namun mengabaikan masalah bahasa dan budaya. Akibatnya justru akan menimbulkan konflik seperti Indonesia saat ini. Untuk itu konsep multikulturalisme harus dimaknai sebagai sesuatu yang tidak diartikan semata-mata sebagai pluralisme antara ras, melainkan juga seperti reaksi yang meliputi budaya, bahasa yang ditinjau secara lebih rinci terutama yang berkaitan dengan munculnya kekuatan dominasi antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Arahnya adalah keseimbangan antara kepentingan etnik tertentu dengan etnik yang lain yang saling berinteraksi.

Menyikapi persoalan multikultural, Jurusan Teater STSI Padangpanjang mengusung tema besar tersebut untuk kepentingan dunia kesenian yaitu teater Indonesia. Multikulturalisme kelihatannya tepat dalam usaha mencapai pertukaran dialektis antar budaya. Istilah ini tidak dengan sendirinya menunjukan bahwa ia mengandung dua budaya yang berbeda yang saling bersentuhan di dalamnya, tetapi ia dapat memiliki lebih dua budaya yang berbeda yang berinteraksi, merangsang dan menjawab pertanyaan seseorang terhadap orang lain. Dengan wacana multikulturalisme, rencananya Jurusan Teater STSI Padangpanjang akan mengadakan Pekan Apresiasi Teater 2003 (PAT-2003) yang akan dilaksanakan pada tanggal 15-21 Mei 2003.

Multikulturalisme merupakan keberagaman dan silang budaya yang dihadapi setiap komunitas dan mencegat kesadaran masyarakat terbuka. Multikulturalisme merujuk pada proses kerjasama, interaksi dan persilangan antar kelompok budaya. Silang budaya memperoleh dimensinya yang baru berkenaan dengan persentuhan yang intensif antar kebudayaan baik karena proses globalisasi maupun revolusi media. Taufik Rahzen berpendapat bahwa persentuhan antar budaya, tidak saja melampaui batas-batas geografis, tetapi juga bersilangan dalam dimensi waktu yaitu bergerak ke masa lampau dan masa depan. Pemadatan ruang dan waktu dalam proses silang budaya, membongkar kelaziman transmisi nilai yang biasanya diwariskan generasi ke generasi.

Teater sebagai bagian dari kebudayaan pada suatu waktu akan berubah. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya perubahan bentuk teater. Pertama adalah terjadinya perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan bentuk teater yang bersifat adaptif. Kedua terjadinya kontak dengan bangsa lain yang mungkin diterimanya teater bangsa asing sehingga terjadi perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakuan yang ada. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia.

Pembahasan mengenai adanya interaksi unsur-unsur kebudayaan secara umum di dunia sebenarnya sudah mengambil tempat dalam diskursus kebudayaan sejak zaman Yunani. Wacana mengebai hal ini sudah muncul sejak Plato hingga George Lucas, sejak Asrul Sani hingga Ikranegara. Akan tetapi diskursus kebudayaan seperti ini belum dapat mengungkap secara jelas bagaimana menifestasinya di dalam teater Indonesia.

Teater masing-masing etnis berbeda-beda sesuai dengan sifat kebudayaan secara umum. Karena itu, perubahannya pun menjadi berbeda-beda. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi proses perubahan di dalam teater tertentu mencakup sampai seberapa jauh sebuah komunitas teater mendukung dan menyetujui adanya fleksibilitas, kebutuhan-kebutuhan teater itu sendiri pada waktu tertentu, dan yang terpenting adalah tingkat kecocokan di antara unsur-unsur baru dan matriks teater yang ada. Perubahan teater dapat berjalan dengan lamban, agak lama, dan cepat.

Teater di Indonesia saat ini merupakan refleksi kebhinekaan yang sangat besar. Faktor geografis dan historis menghalangi perkembangan teater yang homogen dengan arah garis evolusi yang tunggal. Fenomena keberagaman budaya hadir dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda. Sebagian ada yang menjadikan teater tradisi (etnis tertentu) sebagai basic untuk mengungkapkan idiom-idiom hari ini. Pada bagian yang lain ada yang menjadikan teater sebagai ungkapan yang universal, sehingga etnisitas tidak begitu menonjol atau hampir hilang sama sekali.

Dalam rangkaian kesatuan pertumbuhan teater, unsur-unsur lama dan baru tumpang tindih, bercampur baur, atau kadang-kadang hadir berdampingan. Angka-angka tahun hanyalah merupakan pembagi perkiraan yang menandai adanya perkenalan ide-ide atau teknik baru, tanpa perlu dijelaskan tentang lenyapnya kepercayaan-kepercayaan serta kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Untuk itu perlu adanya pembaharuan sudut pandang dalam mengamati teater sebagai seni pertunjukan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada pertunjukan teater Garasi Yogyakarta yang mengusung karya Waktu Batu (Ritus Seratus Kecemasan dan Wajah Siapa Terbelah) beberapa waktu yang lalu. Teater Garasi mencoba mendampingkan idiom-idiom mitologi dan sejarah untuk kepentingan teater masa kini. Tradisi dan modernitas hanyalah alat untuk mengukur jangkauan kreativitas seniman dalam melahirkan karya teater.

Masa kini, dalam memandang teater Indonesia diperlukan cara berpikir bahwa teater tradisi dan modern ataupun kontemporer sebagai suatu rangkaian kesatuan atau kontinuum (continuum). Memasuki milinium ketiga batas pemisah antara kesenian tradisi dengan modern ataupun kontemporer akan semakin tidak jelas (kabur). Akibat proses globalisasi, interaksi budaya (termasuk teater), baik antar bangsa (inter-cultural) maupun antar suku bangsa (intra-cultural), menjadi semakin akrab sehingga perbedaan-perbedaan teater yang biasanya dipertentangan antar tradisi, modern, maupun kontemporer, yang telah banyak menimbulkan kontroversi kreativitas, akan tergusur oleh interaksi, adaptasi, adopsi, dan bahkan oleh perkawinan berbagai unsur seni budaya. Hal ini sesuai dengan pendapat A. Kasim Ahmad bahwa suatu saat nanti (sekarang dalam proses), akan lahir teater Indonesia yang dapat mencerminkan identitas budaya bangsa yang bersumber dari kebhinekaan budaya yang dimiliki.

Teater tradisi di Indonesia memiliki identitasnya sendiri dalam menuangkan ekspresinya. Ia adalah milik masyarakatnya yang mendukung keberadaan teater tersebut. Teater tradisi dramagong adalah milik dan mendapat dukungan dari masyarakat Bali. Randai adalah teater tradisi Minangkabau yang menjadi milik masyarakat Minangkabau. Begitu juga dengan teater-teater tradisional di daerah lain yang mendapat dukungan dari komunitasnya.

Teater realisme yang datang dari dunia lain yang disebut teater Barat, juga memiliki identitas dan konsep yang jelas. Dramaturgi yang dikembangkan oleh teater Barat menjadi model tersendiri yang banyak dipakai teater-teater lain di dunia. Konsep Ibsen, Chekov, Molliere, dan lain-lain menjadi konsep yang menjadi rujukan bagi teater-teater konvensional.

Negara Indonesia memiliki banyak teater tradisional yang berkembang dan hidup sampai hari ini. Masing-masing etnis di Indonesia mempunyai teater-teater dan mendapat dukungan yang besar dari etnis masing-masing tersebut. Keragaman teater tradisional Indonesia membuat identitas untuk teater nasional sangat sulit untuk didefinisikan. Satu sisi, teater tradisional etnis tertentu tidak akan merasa dimiliki oleh etnis yang lain dalam wilayah Indonesia. Randai yang menjadi milik masyarakat Minangkabau terasa asing ketika ditonton oleh masyarakat di luar Minangkabau. Pada sisi yang lain, pengaruh modernisme yang berkembang di Indonesia memungkinkan masuknya bentuk teater yang lain dari belahan dunia yang lain. Akan tetapi bentuk teater dari belahan dunia lain inipun merupakan bentuk yang asing bagi masyarakat Indonesia. Persoalan kebudayaan sangat dominan dalam mempengaruhi seni pertunjukan, sehingga teater yang datang dari belahan dunia lain menjadi asing dan berjarak dengan komunitas tersebut.

Melihat perkembangan teater, seniman-seniman teater Indonesia mencoba mencari idiom-idiom yang universal yang bisa mewakili seluruh etnis, sehingga ia menjadi milik semua etnis. Bentuk teater seperti itu telah dilakukan oleh teaterawan-teaterawan Indonesia. Putu Wijaya, Wisran Hadi, Arifin C. Noer, Noorca M. Massardi, dan lain-lain mengolah kesenian tradisi Indonesia untuk sebuah pertunjukan yang bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia. Akan tetapi muatan tradisi yang begitu menonjol, terutama pada persoalan-persoalan yang diangkat menjadikan bentuk seperti itu oleh sebagian penonton belum mewakili kehidupan masyarakat yang kontemporer. Akibatnya lahir bentuk baru yang mencoba meminimalkan unsur tradisi dan bahkan tidak kelihatan sama sekali, sehingga yang ada adalah ungkapan universal total. Tidak hanya mewakili seluruh etnis di Indonesia, tapi juga mewakili dunia. Hal ini bisa dilihat dari karya-karya Boedi S. Otong, Dindon, Yusril, dan lain-lain.

Bentuk baru teater telah menjadi satu identitas baru. Perubahan identitas ini tidak dalam pengertian membunuh identitas yang telah ada, akan tetapi justru menambah identitas. Teater tradisi tetap jalan dengan identitasnya sendiri, begitu juga dengan teater modern. Sebagai identitas baru, teater bentuk baru ini juga menapak jalannya sendiri dalam memperkenalkan konsep-konsepnya.

Perubahan identitas teater juga merubah konsep identitas kebudayaan. Hadirnya teater baru yang kontemporer membuka peluang untuk merevisi definisi kebudayaan yang selama ini ada. Kalau definisi kebudayaan di Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah di Indonesia, maka dengan tumbuhnya bentuk baru menjadikan definisi tersebut harus ditambah dengan mengikutsertakan seni-seni yang universal. Hal ini tidak untuk menyalahkan konsep yang telah ada hanya menambah dan memperbaharui.

Perubahan dimensi waktu dan jarak bukan saja mempertinggi tingkat keseringan dalam perkunjungan tetapi lebih penting lagi mengecilkan rasa keasingan. Artinya perbedaan antara mana yang kita dan mana yang mereka makin mengabur. Dalam suasana seperti ini, ketika komunikasi telah berjalan lebih lancar bukanlah hal yang terlalu aneh, dan ini merupakan akulturalisme yang memberi makna keberagaman.

Makna dari keberagaman yang diakibatkan oleh perubahan identitas teater ini adalah makna dari interaksi budaya yang berbeda sehingga menjadi bentuk baru yang berbeda dengan budaya dari masing-masing yang berinteraksi. Munculnya makna baru dalam teater akan melengkapi pencarian identitas terhadap teater nasional. Teater tradisi yang diwakili etnis-etnis di wilayah Indonesia belum bisa menjadi teater nasional, karena teater tradisi diciptakan oleh kelompok etnis tertentu yang berbicara tentang komunitasnya sendiri. Bahasa yang dipakai juga bahasa komunitas tersebut yang sulit untuk dinikmati oleh komunitas lain. Komunitas lain akan merasa bahwa teater tradisi komunitas tertentu bukan miliknya karena mereka merasa tidak terlibat.

Wacana multikulturalisme bukanlah otonom. Bukan pula sebuah permainan yang adil, yang sejauh ini pada prakteknya dimungkinkan lewat pertukaran dengan dasar yang tidak adil. Sampai hari ini multikulturalisme berlanjut untuk dijadikan teori, retorika, konsep, kerangka, dan peta, hampir di seluruh dunia. Akankah bisa, ajang yang dilakoni Jurusan Teater STSI Padangpanjang tersebut bisa terwujudkan?***