RANK WIDGET

TENTANG HITAM-PUTIH

Komunitas seni HITAM-PUTIH di Sumatra Barat awalnya adalah kelompok teater yang tumbuh di lingkungan pelajar SMU. Didirikan pada tahun 1992 dengan nama Teater Plus sebagai salah satu kegiatan ekstra-kurikuler di SMU Plus INS Kayu Tanam Sumatera Barat dengan berbagai karya pertunjukan seperti Anggun Nan Tongga (1993), Ring (1994), Kamar, Perguruan (2005), Interne, Kado (1996) . Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1997 bertepatan dengan Ulang tahun INS Kayutanam, atas beberapa pertimbangan dari beberapa siswa dan alumni yang aktif, akhirnya terdapat satu kesepakatan dibentuknya sebuah kelompok independen dengan nama komunitas seni HITAM-PUTIH. Hingga saat ini komunitas seni HITAM-PUTIH tetap eksis dan selalu memberi warna baru dalam aktifitas seni pertunjukan di Indonesia khususnya di Sumatra Barat. Berbagai aktivitas seni pertunjukan khususnya teater dengan pendekatan teater tubuh telah dipentaskan, baik di tingkat regional Sumatera hingga di beberapa tempat di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Seperti Menunggu (1997- 1998-1999-2000), Hamba-Hamba (1997-2008), Welcome to Millenium, Komplikasi (2000), Pesta Topeng (2001), Pintu (2002-2003), Aksioma (2005), Tak Ada Sabtu Sampai Minggu Hanya Ada Siang Dan Malam (2006) Ditunggu Dogot (2005-2007), Dunia Dalam Mesin Jahit (2006), Tangga (2007), Zona X (nyanyian negeri sunyi) (2008), Sesuatu yang melintas dalam samar (2009). di samping melakukan eksplorasi, riset dan eksperimen untuk mencari bentuk-bentuk alternatif seni pertunjukan khususnya seni teater. komunitas seni HITAM-PUTIH, juga mengembangkan bidang kesenian lainnya dengan menjadi penyelenggara beberapa iven seperti pemutaran film kerja-sama dengan Jiffest, In-Doc, dan Eagle Award (2003- sekarang) dan membantu Sukri Dance Theatre dalam setiap proses dan pertunjukan tari.

KALENDER HITAM-PUTIH

USULAN ARTIKEL

PENGIKUT BLOG

Multikulturalisme Teater Indonesia: Menghormati Keberagaman

(Catatan PAT 2003, STSI Padangpanjang)

Oleh Sahrul N

Benny Yohannes dalam makalahnya mengatakan bahwa “multikulturalisme dalam teater seyogyanya dipahami dalam prinsip hadir yang selalu tidak ada (absent present). Bahwa budaya itu tidak pernah memiliki transendensi atau Pengada-Besar, atau asal-usul arkaiknya. Sebab pelacakan terhadap asal-usul seperti itu selalu membikin kita yatim dan semakin yatim. Namun rentangan keyatiman itu adalah sumber-sumber epistemik yang tak pernah menyediakan batas, kefinalan atau kesudahan”.

Benny mengungkapkan pikirannya dalam seminar PAT 2003. Selain Benny juga ada Azuzan JG dari IKJ Jakarta, Sahrul N dari STSI Padangpanjang, dan Zulkifli dari STSI Padangpanjang yang membicarakan multikulturalisme teater Indonesia dari sudut pandang yang berbeda. Selain seminar juga ada pertunjukan teater yang diikuti sebanyak 6 kelompok teater yang terdiri dari IKJ Jakarta, STSI Bandung, Teater Prung Bandung, Teater Sastra Unand Padang, Teater IAIN Imam Bonjol Padang, dan STSI Padangpanjang sebagai tuan rumah. Semua peristiwa ini hadir mulai dari tanggal 15 s/d 20 Mei 2003 di STSI Padangpanjang.

Teater adalah suatu peristiwa atau memperjelas peristiwa. Naskah, keinginan sutradara, kemampuan pemeran, artistik, panggung dan lain-lain hanyalah unsur-unsur dalam membangun peristiwa yang pada akhirnya menuju pada dialektika antara hal-hal yang diharapkan dengan yang tak disangka-sangka. Perpaduan unsur-unsur tersebut menjadikan teater membuka ruang yang sangat luas terhadap adaptasi budaya. Tak ada yang tak mungkin dalam dunia kreativitas teater.

Multikulturalisme ada yang memahaminya sebagai penekanan terhadap ras yang mengacu pada keanekaragaman yang menunjukan keharmonisan, namun mengabaikan masalah bahasa dan budaya. Akibatnya justru akan menimbulkan konflik seperti Indonesia saat ini. Untuk itu konsep multikulturalisme harus dimaknai sebagai reaksi yang meliputi budaya, bahasa yang ditinjau secara lebih rinci terutama yang berkaitan dengan munculnya kekuatan dominasi antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Arahnya adalah keseimbangan antara kepentingan etnik tertentu dengan etnik yang lain yang saling berinteraksi.

Pertunjukan dalam rangka PAT diawali oleh kelompok Teater IAIN Imam Bonjol Padang yang mengusung naskah Karbala 2 karya / sutradara Zelfeni Wimra c.s. Dalam konteks multikultural, pertunjukan Karbala 2 mengambil semangat perang Karbala untuk kepentingan pemahaman dari peristiwa sejarah. Idiom-idiom Timur Tengah dipadukan dengan konsep dramaturg dari Barat serta ditambah sentuhan tradisi Minangkabau menjadikan adanya pergulatan kebudayaan dari masing-masing etnis yang bersentuhan tersebut. Perang Karbala hanyalah titik berangkat cerita tetapi bukan fokus utama. Begitu juga dengan konsep penggarapan yang mengambil konsep-konsep Barat dan kemudian dipadukan dengan konsep tradisi Minangkabau menjadikannya kaya akan idiom-idiom atau simbol-simbol etnis yang berbeda.

Berbeda dengan yang ditampilkan Teater KMT STSI Bandung yang membawa naskah Bui karya Akhudiat, sutradara Firman dalam bentuk absurd. Menjadikan karya realisme dalam bentuk absurd merupakan pencarian ruang lain dan pemaknaan yang berbeda. Penjara tidak lagi bermana fisikal tetapi sudah menjadi makna epistemik. Makna yang lebih dalam serta penggambaran yang simbolis. Naskah Bui hanya mengadirkan tokoh dua orang, akan tetapi dalam pertunjukan ini, sutradara menghadirkan satu tokoh yang lain (sipir penjara) untuk memberikan makna yang berbeda. Usaha ini merupakan usaha dalam mencari beraneka ragam (multikultural) pemahaman dalam mencari identitas atau tanpa identitas.

Teater Prung mencari cara lain dalam mengangkat Perempuan Memalu Batu, karya Tim Prung, sutradara: Hikmat Gumelar Berdoa. Berbeda dengan konsep estetika panggung selama ini (panggung teater konvensi) lakon Perempuan Memalu Batu menghilangkan fokus. Fokus pada setiap adegan seperti diserahkan kepada jangkauan tatapan dan ketertarikan oleh penonton secara bebas. Pertunjukan dimulai dengan kemunculan para pemain dari sudut kanan belakang pentas. Kostum pemain dibalut dengan kain berwarna hitam (satu pemain perempuan) sementara selebihnya dibalut dengan lilitan kain putih. Beberapa beberapa pemain laki-laki mencat kepalanya dengan warna hitam dan merah. pertunjukan berlangsung dalam tempo yang monoton dan kaku. Properti yang begitu memenuhi pentas terkesan hanya menjadi benda-benda mati. Tak ada cerita, tak ada kisah. Yang ada hanya peristiwa dan monolog pemain.

Teater Langkah Fakultas Sastra Unand Padang menampilkan Meja Makan Kita karya M. Syafari Firdaus, sutradara Hariyanto Prasetyo. Tiga dewa (Brahma, Wisnu, dan Syiwa) dipakai untuk mengungkapkan persoalan kekinian dan mempertegas bahwa dalam kehidupan selalu ada kebajikan dan kejahatan. Pengambilan simbol masa lalu (babad) untuk kepentingan pertunjukan hari ini merupakan usaha multikulturalisme yang mengarah pada pembunuhan identitas untuk membentuk identitas baru.

Sementara Teater KMT STSI Padangpanjang menggarap Barabah karya Motinggo Busye, sutradara Wen Hendri yang murni memakai konsep realisme tetapi makna yang disampaikan mencoba untuk melampaui realisme itu sendiri. Banio sebagai laki-laki yang memiliki banyak istri memiliki kecenderungan membanggakan keperkasaannya. Sama halnya dengan laki-laki zaman sekarang atau yang terlihat pada anak muda hari ini. Laki-laki selalu menyelesaikan sesuatu lewat kekerasan. Begitu juga dengan tokoh Barabah yang menyimbolkan seorang perempuan yang tidak mau dimadu seperti halnya perempuan-perempuan sebelumnya. Emansipasi dan gender merupakan bentuk perjuangan yang dilakukan Barabah.

Sama halnya dengan Teater KMT STSI Padangpanjang, Teater KMT IKJ Jakarta membawa konsep realisme dengan naskah Pinangan karya Anton P. Chekov, sutradara Hestu Wreda. Pertunjukan yang verbal ini membuat penonton tidak terlalu berpikir menganalisa persoalan. Apalagi kemampuan ketiga pemeran yang cukup berhasil dengan improvisasi kocak. Kekonyolan ketoprak dan lenong masuk dalam wilayah teater realisme Brehctian, begitu juga dengan memasukan unsur Minangkabau, ketika Agus pingsan (disangka mati oleh Ratna). Ratna menyanyikan lagu Minang yang sangat sedih sambil diringi oleh bansi (musik etnis Minangkabau), betul-betul kekonyolan yang luar biasa.

Multikulturalisme merujuk pada proses kerjasama, interaksi dan persilangan antar kelompok budaya. Silang budaya memperoleh dimensinya yang baru berkenaan dengan persentuhan yang intensif antar kebudayaan baik karena proses globalisasi maupun revolusi media. Taufik Rahzen berpendapat bahwa persentuhan antar budaya, tidak saja melampaui batas-batas geografis, tetapi juga bersilangan dalam dimensi waktu yaitu bergerak ke masa lampau dan masa depan. Pemadatan ruang dan waktu dalam proses silang budaya, membongkar kelaziman transmisi nilai yang biasanya diwariskan generasi ke generasi.

Teater masing-masing etnis berbeda-beda sesuai dengan sifat kebudayaan secara umum. Karena itu, perubahannya pun menjadi berbeda-beda. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi proses perubahan di dalam teater tertentu mencakup sampai seberapa jauh sebuah komunitas teater mendukung dan menyetujui adanya fleksibilitas, kebutuhan-kebutuhan teater itu sendiri pada waktu tertentu, dan yang terpenting adalah tingkat kecocokan di antara unsur-unsur baru dan matriks teater yang ada. Perubahan teater dapat berjalan dengan lamban, agak lama, dan cepat.

Teater di Indonesia saat ini merupakan refleksi kebhinekaan yang sangat besar. Faktor geografis dan historis menghalangi perkembangan teater yang homogen dengan arah garis evolusi yang tunggal. Fenomena keberagaman budaya hadir dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda. Sebagian ada yang menjadikan teater tradisi (etnis tertentu) sebagai basic untuk mengungkapkan idiom-idiom hari ini. Pada bagian yang lain ada yang menjadikan teater sebagai ungkapan yang universal, sehingga etnisitas tidak begitu menonjol atau hampir hilang sama sekali.

Dalam rangkaian kesatuan pertumbuhan teater, unsur-unsur lama dan baru tumpang tindih, bercampur baur, atau kadang-kadang hadir berdampingan. Angka-angka tahun hanyalah merupakan pembagi perkiraan yang menandai adanya perkenalan ide-ide atau teknik baru, tanpa perlu dijelaskan tentang lenyapnya kepercayaan-kepercayaan serta kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Untuk itu perlu adanya pembaharuan sudut pandang dalam mengamati teater sebagai seni pertunjukan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada pertunjukan teater yang dilakukan pada PAT 2003 ini. Tradisi dan modernitas hanyalah alat untuk mengukur jangkauan kreativitas seniman dalam melahirkan karya teater.

Perubahan dimensi waktu dan jarak bukan saja mempertinggi tingkat keseringan dalam perkunjungan tetapi lebih penting lagi mengecilkan rasa keasingan. Artinya perbedaan antara mana yang kita dan mana yang mereka makin mengabur. Dalam suasana seperti ini, ketika komunikasi telah berjalan lebih lancar bukanlah hal yang terlalu aneh, dan ini merupakan akulturalisme yang memberi makna keberagaman.

Wacana multikulturalisme bukanlah otonom. Bukan pula sebuah permainan yang adil, yang sejauh ini pada prakteknya dimungkinkan lewat pertukaran dengan dasar yang tidak adil. Sampai hari ini multikulturalisme berlanjut untuk dijadikan teori, retorika, konsep, kerangka, dan peta, hampir di seluruh dunia. Akhirnya PAT 2003 di STSI Padangpanjang membuka ruang pemikiran tentang multikulturalisme teater Indonesia dan mencoba untuk menghormati kehadiran yang berbeda pada kelompok teater di Indonesia. Seperti yang dikatakan Benny bahwa teater mengungkap “yang lain” (the other)***

Penulis adalah Dosen Teater STSI Padangpanjang

Bahaya Laten “Teks” di Luar Teater (1)



OLEH Nasrul Azwar

TEKS teater memang telah mati, dan memang mati. Sudah lama sekali mati, malah. Siapa yang demikian tangguh jadi “algojo” yang membunuhnya? Jawab adalah teater itu sendiri plus pelakunya. Lalu di mana kuburnya? Tak ada yang tahu. Karena sejarah, hidup dan matinya tak ada yang mengawasinya. Ia lahir dari rahim festival, pertemuan, undangan, dan juga tugas mata kuliah jika ia mengambil jurusan sastra atau teater di perguruan tinggi. Festival, pertemuan, serta beragam nama yang domodifikasi adalah “orangtua” teater. Dan orangtua itu jelas tidak akan bertanggung jawab membesarkan, mengawasinya, dan lain sebagainya. Sebab, ia bukan tipe orangtua yang diharapkan demikian. Ia hanya menitikkan satu “benih” dari sekian juta benih bertebaran. Terserah, mau diapakan setelah itu: mati, atau setengah mati, atau mati-mati hidup, atau hidup lagi setelah ada orangtua baru hadir, dan seterusnya.

Maka, teater di pulau Sumatra, Jawa , Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua, bukan lagi jadi satu ikon “perlawanan” pada mainstream kondisi stagnasi atas kebekuan pemikiran tentang teater itu sendiri. Ia telah berwujud pada pelarutan diri ke kondisi realitas kekiniaan. Teater telah kehilangan identifikasi dirinya, dan jadi teramat sulit untuk diurai, karena antara panggung politik, sinetron, dan sihir AFI dengan teater telah saling membocorkan diri. Teater kehilangan satu-satunya barang berharga yang dipunyainya: kebaruan militansif.

Dari sinilah proses awal dari pembantaian terhadap teater, dan ini telah berlangsung cukup dasyat 13 tahun terakhir, untuk Sumatra Barat, yang saya tahu, lebih lama dari itu, sekitar 17 tahun terakhir. Jadi apa yang mesti dikatakan lagi? “Dicoba untuk membangun harap?” kata seorang pegiat teater.

Kini, untuk beberapa kota di Indonesia, tampaknya harapan itu ada, walau bukan jaminan untuk menghidupkan kembali teater dapat dilakukan dengan baik. Paling tidak—sementara—tumpuan itu ada di perguruan tinggi. Lima tahun terakhir pertumbuhan teater di perguruan tinggi umum/seni di pelbagai kota, memperlihatkan warna yang jelas. “Gerakan” dapat dipantau dari aktivitas dan progam festival dan pertemuan yang digelar di masing-masing kampus mereka, baik dalam skala lokal maupun nasional.

Namun demikian, di luar teks teater, kenyataan memang tidak berpihak pada teater itu sendiri. Faktor yang kuat adalah soal dominasi teks-teks kapitalisme, konsumerisme selanjutnya juga pengdangkalan makna teater itu sendiri yang dilakukan para “dewa-dewa” dan “abdi-abdi” teater. Teater dijelmakan sebagai metamorfosis untuk memproklamasikan diri sebasgai stigma-stigma pembenaran. Di luar dirinya, yang bukan teater dianggap tidak benar. Sementara, ruang publik sebagai basis teater kini ditukar dengan “layar kaca” dan orientasi massif dengan baragam kemudahan dan kenyamanan, dan semua itu menyajikan efek-efek motoris bagi publik untuk bertahan berlama-lama di depannya.

Di depan layar kaca berlangsung “interaksi” kebutuhan: semenjak pembalut perempuan, makanan ringan, transaksi hingga kebutuhan biologis manusia. Semua dihadirkan dengan banyak pilihan-pilihan. Setelah letih mata memelototi layar kaca, di luar akan menanti kenikmatan lainnya. Ada makanan cepat saji, plaza, mall, panti pijat, seks, dan café-café, dengan tetap menyajikan kemudahan dan kenikmatan syaraf motorik kita.

Paradoks dan memilukan. Sisi lain, teater tetap dalam pengembaraan yang miskin, nestapa, dan dekil. Tak ada infrastruktur penunjang aktivitas teater yang representatif. Fasilitas gedung pertunjukan yang demikian jelek, membuat teater hancur-hancuran menerima nasibnya, terus mengaburkan identitasnya. Inilah sepanjang hari yang menggerogoti tiang-tiang teater, selain, tentu saja, pelakunya sendiri yang lari terbirit-birit saat teater itu roboh. Dan akan muncul lagi ketika ada undangan, festival, pertemuan, atau sejenis ini. Seperti siklus dan hukum alam, kondisi demikian telah lama berlangsung. Selama itu pula teater sebenarnya telah tiada: telah mangkat.

Kini ahli “waris”—yang menamakan dirinya pelaku teater—mencoba meneruskan cita-cita teater itu, walau tantangan untuk itu lebih berat lagi. Tampak ada juga kegagapan saat mereka mencoba mengidentifikasi persoalan “teks” teater itu. Ada juga kebingungan yang terlihat saat mereka kehilangan juru bicara untuk menjelaskan apa sesungguhnya keinginan teater mereka. Kesan ini bukan saja terjadi pada kelompok-kelompok teater yang berada di luar kampus, di dalam kampus sendiri juga demikian: kesulitan “intelektual” memaparkan dan menjelaskan identitas teks teaternya. Belum lagi masalah yang berada di luar teks teater itu sendiri, semua bagabalau.

Tentu, soal yang paling dasar adalah internal teater itu sendiri. Pengidentifikasian masalah teater yang bersifat internal, menjadi sangat krusial sekali, jika mau melihat persoalan eksternal teater. Dan jika ini telah dilakukan, maka soal eksternal akan mudah dipecahkan. Polarisasi program, visi, arah, serta target berteater, tentu soal ke dalam. Menjalin jaringan, membuka diri untuk kerja sama dengan pihak luar, adalah soal ke luar. Dan semuanya itu disinergikan dalam sebuah komitmen bersama, baik itu yang berada dimanajerial maupun pelaku teater di kelompok itu sendiri. Bukan hal demikian itu merupakan bahaya laten teater. ***

Meramu Mimpi Teater Indonesia Atawa Selamat Pagi



Oleh Sahrul N

Kebudayaan pada suatu waktu akan berubah. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya perubahan kebudayaan. Pertama adalah terjadinya perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif. Kedua terjadinya kontak dengan bangsa lain yang mungkin menyebabkan diterimanya kebudayaan asing sehingga terjadilah perubahan dalam nilai-nilai dan tata kelakukan yang ada. Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia

(Haviland, 1988:251).

Teater sebagai bagian dari kebudayaan pada masing-masing etnis berbeda-beda sesuai dengan sifat kebudayaan yang mempengaruhinya. Karena itu, perubahannya pun menjadi berbeda-beda. Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi proses perubahan di dalam teater tertentu mencakup sampai seberapa jauh sebuah kebudayaan mendukung dan menyetujui adanya fleksibilitas, kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu sendiri pada waktu tertentu, dan yang terpenting adalah tingkat kecocokan di antara unsur-unsur baru dan matriks kebudayaan yang ada. Perubahan bentuk teater dapat berjalan secara lamban, agak lama, dan cepat.

Seni di Indonesia menurut Claire Holt[1] merupakan refleksi kebhinekaan yang sangat besar. Faktor geografis dan historis mengalangi perkembangan seni yang homogen dengan arah garis evolusi yang tunggal. Fenomena budaya hadir dalam tingkatan-tingkatan kehidupan yang berbeda. Sebagian nampak kuna tetapi masih tetap vital; pada bagian yang lain tampil tua dan sudah nampak akan punah atau mengalami transformasi-transformasi yang radikal; sedangkan bagian yang lain lagi lahir baru serta tumbuh dengan hebat dan pesat.

Manusia telah membaca dan mengetahui bahwa perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet telah selesai. Patung Lenin telah tumbang, tembok Berlin telah runtuh, dan sebuah ideologi besar telah hancur. Saddam Husein telah keluar dari istananya dan patung kebesarannya telah ditumbangkan di Irak. Manusia membaca dan mengetahui bahwa di Jerman pernah lahir Hitler, Napoleon pernah ada di Perancis, Musssolini jadi tiran di Italia, dan persoalan-persoalan dunia lainnya. Manusia membaca dan mengetahuinya perubahan tersebut lewat buku-buku sejarah dan media massa. Sejarah dan media massa menjadi wahana dari peristiwa-peristiwa.

Sejarah juga mencatat ketika teater modern muncul dengan fenomena yang berbeda dengan teater etnik (tradisional), maka perubahan kebudayaan juga melanda dunia teater. Pola pertunjukan yang dipengaruhi Barat telah terjadi. Tapi teater baru ini, seperti halnya bangsa ini sendiri, harus melewati berbagai fase dan menyonsong berbagai masalah sebelum tiba ke suatu idiom atau gaya mereka sendiri. Ia lahir bukan dari ketiadaan. Sudah ada beragam teater etnik dan satu teater multik-etnik. Teater etnik memakai bahasa, gambaran-gambaran dan simbol-simbol etnik yang kebanyakan hanya sangat bermakna bagi anggota-anggota kelompok etnik. Ide-ide dan aspirasi-aspirasi nasionalis juga diekspresikan lewat kesusastraan dan teater etnik, tetapi ketika bahasa dan berbagai simbol hanya dapat dipahami para anggota kelompok etnik, kesenian itu tidak dapat diklasifikasikan sebagai kesenian nasional atau Indonesia.

Bentuk baru teater dalam impian seniman teater Indonesia menuju satu identitas baru. Perubahan identitas ini tidak dalam pengertian membunuh identitas yang telah ada, akan tetapi justru menambah identitas. Teater tradisi tetap jalan dengan identitasnya sendiri dan begitu juga dengan teater Barat yang dengan konsepnya sendiri menempuh jalurnya. Sebagai identitas baru --masih dalam kerangka mimpi seniman teater Indonesia --, teater bentuk baru ini juga menapak jalannya sendiri dalam memperkenalkan konsep-konsepnya.

“Selamat pagi teater baru Indonesia”, mungkin itu ucapan yang pantas untuk perkembangan teater Indonesia. Teater yang baru bangun dari tidur panjangnya mencoba mencari posisi untuk bisa duduk sejajar dan kalau perlu sedikit di atas konsep teater yang telah ada. Teater eksperimental, teater eksplorasi, dan banyak nama (identitas?) yang muncul di Indonesia sedang minum secangkir kopi di pagi hari. Belum sempat mandi dan berdandan, tapi dari wajahnya sudah ada tersirat keyakinan bahwa ia akan berbuat sesuatu. Sesuatu yang berbeda, sesuatu yang entah, sesuatu yang multikulturalisme.

Wacana multikulturalisme menurut Hartiningsih[2] masih relatif baru. Australia dan Kanada merupakan dua negara penting selama dua dekade terakhir ini secara sistematik dan komprehensif menerapkan pendekatan multikulturalisme melalui berbagai hal berkaitan dengan pendidikan, bahasa, ekonomi dan komponen-komponen sosial serta mekanisme institusional.

Bagus[3] menilai bahwa untuk istilah multikulturalisme ada yang memahaminya sebagai penekanan terhadap ras yang mengacu pada keanekaragaman yang menunjukan keharmonisannya, namun mengabaikan masalah bahasa dan budaya. Akibatnya justru akan menimbulkan konflik seperti Indonesia saat ini. Untuk itu konsep multikulturalisme harus dimaknai sebagai sesuatu yang tidak diartikan semata-mata sebagai pluralisme antara ras, melainkan juga seperti reaksi yang meliputi budaya, bahasa yang ditinjau secara lebih rinci terutama yang berkaitan dengan munculnya kekuatan dominasi antara satu bahasa dengan bahasa lainnya. Jadi arah yang dikemukakan Bagus merupakan keseimbangan antara kepentingan etnik tertentu dengan etnik yang lain yang saling berinteraksi.

Perubahan identitas teater menuju multikultural juga merubah konsep identitas kebudayaan. Hadirnya teater dengan bentuk baru (masih dengan harga perkenalan) membuka peluang untuk merevisi definisi kebudayaan yang selama ini ada. Perubahan dimensi waktu dan jarak bukan saja mempertinggi tingkat keseringan dalam perkunjungan tetapi lebih penting lagi mengecilkan rasa keasingan. Artinya perbedaan antara mana yang kita dan mana yang mereka makin mengabur. Dalam suasana seperti ini, ketika komunikasi telah berjalan lebih lancar bukanlah hal yang terlalu aneh kalau teater Indonesia muncul dengan wajah barunya.

Akan tetapi dalam proses menuju identitas baru atau menuju sesuatu yang tanpa identitas merupakan pekerjaan tak mudah. Banyak rintangan yang harus dilewati terutama yang berkaitan dengan penonton atau masyarakat yang menilai kesenian. Banyak peristiwa-peristiwa terjadi diakibatkan putusnya komunikasi dalam menanggapi dan menilai teater.[4] Sartre memberikan sebuah catatan tentang pementasan teater Uncle Tom’s Cabin di Amerika Serikat bagian Selatan, sekitar tahun 1860-an dan di depan penonton kulit putih (Junus, 1981:141). Dikatakannya, bahwa warga kulit putih mungkin saja terharu melihat pementasan, tetapi mereka belum tentu akan membebaskan budak Negro yang mereka miliki. Ini disebabkan oleh perbedaan pentas yang mereka tonton dengan dunia kehidupan nyata sehari-sehari. Dunia yang ditonton adalah sesuatu yang dapat dilupakan dalam kehidupan nyata. Hal ini merupakan kendala kreatif yang juga akan melanda konsep baru teater Indonesia.

Teater dengan konsep baru hanya akan terwujud jika pendukungnya dengan berani dapat melepaskan diri dari kefanatikan daerah dan juga kefanatikan Barat. Teater tradisi dan teater Barat hanyalah ciri fisikal yang bisa memperkaya suatu penampilan pentas, akan tetapi bukan tujuan dan bukan pula syarat. Sebab identitas akan tampil dari isi dan arti. Perwujudan konsep baru juga harus memikirkan sesuatu untuk masa depan. Pertanyaannya adalah “apakah mampu konsep baru ini bertahan lama?” Diyakini bahwa karya seni yang baik adalah karya yang mampu bertahan dan selalu aktual pada setiap zaman (Esten (ed.), 1989:90). Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa karya-karya yang besar mampu masuk dalam wilayah apa saja dan dalam dunia mana saja. Fakta-fakta yang tercermin dalam karya yang telah hadir beberapa tahun yang lalu bisa dihubungkan dan diaktualisasi dengan kondisi hari ini. Tidak hanya pada kebudayaan yang mendukung karya itu lahir namun juga pada kondisi budaya yang lain.

Teater dengan konsep baru atau identitas baru atau tanpa identitas memang sedang menghirup secangkir kopi pada pagi hari sambil menghisap sebatang rokok dan berpikir langkah yang akan disiapkan. Mimpi mereka pada waktu tidur ingin diwujudkan dalam karya-karya yang monumental. Akankah?***


1. Dalam Buku Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. Prof. Dr. R.M. Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. 2000.
2. Maria Hartiningsih dalam tulisan "Asimilasionisme vs Multikulturalisme". Kompas, Rabu 14 Maret 2001. Jakarta.
3. I Gusti Ngurah Bagus dalam tulisan "Reformasi, Multikulturalisme, dan Masalah Politik Bahasa di Indonesia". Makalah Seminar di Program Studi S2 dan S3 Kajian Linguistik Universitas Udayana Denpasar-Bali pada tanggal 25 Mei 2001.
4. Banyak terjadi pencekalan terhadap pertunjukan teater di Indonesia seperti pertunjukan Ratna Sarumpaet, Wisran Hadi, Rendra dan lain-lain. Begitu juga dengan tanggapan masyarakat terhadap teater yang tidak akomodatif seperti yang dikatakan Hayakawa (dalam Mulyana dan Rakhmat (ed.), 1998: 100-101) menberi contoh bahwa seorang aktor yang memainkan peranan seorang penjahat dalam sebuah teater keliling, dalam suatu adegan yang menegangkan, pernah ditembak oleh seorang penonton yang buruk. Paul Muni, setelah memainkan Clerance Darrow dalam Inherit the Wind, diundang untuk memberikan pidato di hadapan Asosiasi Bar Amerika, Ralph Bellamy, setelah memainkan peranan Franklin D. Roosevelt dalam Sunrise at Campobello, diundang oleh beberapa universitas untuk berpidato tentang Roosevelt. Juga ada patriot-patriot yang tergesa-gesa ke kantor-kantor perekrutan untuk mempertahankan negara ketika pada tanggal 30 Oktober 1938, Amerika Serikat “diinvasi” oleh “orang-orang Mars” dalam sebuah drama radio.

ABSURDISME DELIRE A DEUX



Oleh Sahrul N

Kesan pertama yang menonjol setelah menonton teater Delire A Deux (Kura-Kura dan Bekicot) karya Ionesco, saduran Darnoto, sutradara Kurniasih Zaitun, di gedung pertunjukan Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang, pada tanggal 15 April 2005 adalah suara-suara perang (bom, rentetan bunyi senapan, dan bentakan orang-orang di belakang panggung). Suara tersebut seakan memecah kebekuan kalimat absurd yang dilontarkan tokoh Lelaki (Jamal) dan tokoh Perempuan (Ayu) yang masing-masing memiliki kebenaran dan kesalahan sendiri-sendiri. Tidak ada yang salah di antara keduanya dan tidak ada yang benar di antara keduanya, dan juga tidak ada penyelesaian. Semua masalah berseliweran satu sama lain menjadi ikon-ikon persoalan tanpa kesimpulan. Kesimpulan merupakan hak sepenuhnya dari penonton yang menyaksikan. Hal ini merupakan ciri dari teater absurd Ionesco, Samuel Becket, Albert Camus, Sartre, dan lain-lain. Tidak ada yang digurui dan tidak ada yang menggurui. Penonton merupakan penikmat aktif dari peristiwa-peristiwa yang hadir di atas panggung.

Peristiwa dimulai dengan bunyi bom dan rentetan senapan mesin yang keluar dari keyboard yang diolah Darminta lewat sound syestem yang berkekuatan tinggi. Dua tokoh (Lelaki dan Perempuan) yang berprilaku kura-kura dan bekicot mulai menggeliatkan badannya merespon bunyi tersebut. Keduanya seperti tertekan oleh kondisi perang yang hadir dalam ruang-ruang ketakutan. Saat bunyi peperangan menghilang keduanya selalu bertengkar tentang kebenaran masing-masing. Hanya suara bom dan rentetetan senapan mesin yang menyatukan mereka dalam ketakutan. Lalu bertengkar lagi, menyatu lagi dalam ketakutan, bertengkar lagi, begitu seterusnya tanpa ada yang terselesaikan.

Pertunjukan yang berdurasi sekitar 70 menit ini mencoba memberdayakan ikon-ikon dari properti yang digunakan. Baskon dan tutup nasi dimultifungsikan semaksimal mungkin membentuk makna-makna tertentu. Ketika makna satu muncul dari properti yang digunakan kemudian dihancurkan oleh makna-makna lain. Penghancuran ikon ini merupakan gejala dekonstruktif yang menjadi ciri dari pertunjukan ini. Untuk bisa menuju pada penghancuran ikon, kedua tokoh harus memaksimalkan pola akting dengan konsep atraktif dari Mayerhold. Ini bisa dilihat dari brosur yang diberikan kepada penonton bahwa seorang aktor harus bisa melakukan kegiatan di atas pentas yang berbeda dengan kegitatan sehari-hari. Teatrikalisme merupakan kehidupan distilisasi (digayakan) dan bahkan dirusak (didistorsi) untuk tujuan-tujuan teater.

Keinginan dari naskah Ionesco adalah persoalan ketegangan pikiran yang mengacu pada absurdisme. Lakon absurd diistilahkan oleh Esslin (dikutip dari Bakdi Soemanto) sebagai pure theatre yang ciri-ciri aktingnya seperti yang terdapat dalam pertunjukan sirkus, akrobat, dan sebagainya. Gerakan pemain dalam pertunjukan absurd tidak mempunyai makna, walaupun mempunyai fungsi tertentu. Gerakan mereka berbeda dengan gerakan penari yang merupakan simbol-simbol. Dengan kata lain, gerakan itu tidak mempunyai acuan di luar gerakan itu sendiri. Akan tetapi dalam pertunjukan ini ada sedikit penyimpangan dalam mengolah gerak para tokoh dari gerak yang diinginkan absurdisme. Gerak terlalu tertata (rapi) bahkan hampir menyerupai gerak tari kontemporer, terutama gerak dari tokoh Perempuan.

Ionesco seperti yang dikutip oleh Styan pernah mengatakan bahwa dalam lakon absurd, tokoh-tokohnya tampil sebagai characters without character. Tokoh tanpa watak yang sebenarnya suatu wujud transformasi dari peristiwa sehari-hari yang tidak banyak disadari orang. Banyak kalimat-kalimat konyol yang dilontarkan oleh kedua tokoh yang menurut pemikiran logis tidak akan pernah diucapkan oleh manusia seperti apa adanya. Kalimat-kalimat tersebut hanya diucapkan oleh manusia sakit (gila) atau manusia yang tidak menyadari bahwa dirinya manusia (hilang kesadaran).

Absurdisme Delire A Deux karya Ionesco berkaitan erat dengan pandangan filsafat eksistensialisme yang mengajarkan bahwa yang paling nyata dan konkret hanyalah eksistensi yang bersifat individual atau hanya yang pernah dialami yang bisa disebut kenyataan. Kedua tokoh (Lelaki dan Perempuan) berada dalam suatu ruang (space) dimana lokasi fisik atau raga berada disuatu tempat diantara lokasi perang dua kelompok yang bertikai. Mereka tidak bisa keluar dari kenyataan tersebut. Gambaran peperangan kedua kelompok yang bertikai seperti gambaran kedua tokoh yang selalu bertengkar. Anehnya adalah ketika suara bom dan rentetan senapan yang menandakan peperangan kedua kelompok saat itu pula kedua tokoh menyatu. Sedangkan saat bunyi peperangan hilang saat itu pula pertengkaran kedua tokoh semakin menjadi. Di sini terlihat bahwa tidak akan pernah hidup itu damai. Perang bisa membuat meraka menyatu dalam ketakutan, akan tetapi pada saat kedamaian muncul, muncul pertengkaran keluarga. Lalu kapan ada kedamaian? Menurut pemikiran absurd kedamaian tidak akan pernah terjadi.

Ketidakberdayaan kedua tokoh merupakan ciri lakon absurd. Banyaknya percobaan nuklir, perang terus menerus, pembunuhan massal akibat perang dunia yang disaksikan oleh Ionesco yang lahir tahun 1912 menjadi inspirasi kreatif. Manusia berhadapan dengan tindakan-tindakan mengerikan tanpa bisa keluar dari kenyataan tersebut. Permenungan Ionesco tentang kehadiran manusia merupakan reaksi dari kondisi manusia itu sendiri yang nyata, tidak hanya lewat spekulasi pikiran.

Alur bagi lakon Delire A Deux tidak begitu penting, yang penting adalah masalah atau peristiwa-peristiwa yang diulang-ulang. Pengulangan tanpa makna seperti yang ditulis Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus juga merupakan ciri lakon absurd. Hal ini sangat berbeda dengan lakon-lakon lain seperti realisme dan sebagainya.***

Sahrul N., S.S., M.Si., adalah dosen Jurusan Teater STSI Padangpanjang

Pengumuman Seleksi Lokakarya Capacity Building Bersama Sam Miller




Tanggal 17 Oktober 2009



Sebanyak 16 seniman dan manajer seni berbakat lolos seleksi dan akan segera berkumpul di Jakarta untuk mengikuti Lokakarya Capacity Building for Artists and Managers 2009 bersama dengan Sam Miller. Lokakarya yang didukung oleh Asian Cultural Council ini akan diadakan di Hotel Grand Flora, Jakarta Selatan.

Bagi peserta, selain akan memperoleh pengalaman dan bekal keahlian sehingga lebih siap menghadapi tantangan kerja sebagai seorang seniman dan juga manajer seni, semua biaya yaitu transportasi dan akomodasi peserta dari tempat asal hingga pulang kembali akan ditanggung oleh Kelola.

Berikut adalah nama peserta yang lolos seleksi;

1. Nuri Aryati – Solo, Jawa Tengah
2. Mugiyono Kasido – Solo, Jawa Tengah
3. Anton Asmonodento – Yogyakarta, DIY
4. Muhammad Rudiyanto – Tegal, Jawa Tengah
5. Reni Kanila Sari – Bantul, DIY
6. Jamaluddin Latif – Bantul, DIY
7. Afrizal Harun – Padangpanjang, Sumatera Barat
8. Imas Sobariah – Bandar Lampung, Lampung
9. Iswadi Pratama – Bandar Lampung, Lampung
10. Fitri Setyaningsih – Bantul, DIY
11. Melati Anastasia – Bantul, DIY
12. Asri Mery Sidowati – Depok, Jawa Barat
13. Andara Firman Moeis – Jakarta
14. Dwi Windarti – Yogyakarta, DIY
15. Budhi Harto – Malang, Jawa Timur
16. Muhammad Rasyid Ridlo – Wonosobo, Jawa Tengah

Sam dan Kelola bekerja sama untuk merumuskan beberapa hal yang dianggap layak dibahas sesuai dengan perkembangan bidang kesenian khususnya di Indonesia. Di dalam pembahasan nanti akan dibawakan juga cara membangun jejaring sekaligus mengemas karya aspirasi kreatifnya dalam sebuah strategi entrepreneur untuk pasar.

“Saya ingin membuat workshop yang berusaha membantu para peserta mengembangkan kemampuan yang mereka butuhkan untuk melayani aspirasi kreatif mereka,” demikian petikan ucapan Samuel Miller yang pernah bekerja sebagai Direktur Jacob’s Pillow Festival, salah satu festival seni pertunjukan terkemuka di Amerika dan sekarang menjadi Presiden dari Leveraging Investments in Creativity (LINC) di New York.

19 Calon Stage Manager Berbakat Dari 10 Provinsi di Indonesia Telah Terpilih



13 Juli 2009


Sebanyak 19 calon-calon stage manager berbakat dari 10 provinsi di Indonesia telah terpilih dalam program kompetitif, Lokakarya Stage Management 2009 bersama dengan Fred Frumberg. Lokakarya ini akan diadakan di Teater Kecil Institut Seni Indonesia Surakarta, jalan Ir. Sutami 57 Solo, Selasa-Sabtu tanggal 21-25 Juli 2009.

Berikut adalah nama peserta yang lolos seleksi;

1. Marojahan Adrian – Medan, Sumatera Utara
2. Eric Wirjanata – DKI Jakarta
3. Taufik Walhidayat A.Md., Kom – Banyuwangi , Jawa Timur
4. Joko Sriyono – Karanganyar , Jawa Tengah
5. Daniel Caesar – Sleman , DIY
6. Putu Esha Dirtaiswara Kurniawan – Badung , Bali
7. Dedi Dwiyanto – Denpasar , Bali
8. Taruna Perkasa Putra – Jember , Jawa Timur
9. Wildan Kurnia – Garut, Jawa Barat
10. Raja Aria Octaviano – DKI Jakarta
11. Mohammad Fadhal – Lamongan, Jawa Timur
12. Tri Asih Puspitaningtyas – Bandung, Jawa Barat
13. Danny Muhammad Ramdan – Cianjur, Jawa Barat
14. Masvil Tomi – Kota Baru, Jambi
15. Dedi Novaldi-Padangpanjang, Sumatera Barat
16. Deri Efwanto-Bandar Lampung, Lampung
17. Rifqi Mansur Maya, Bantul, DIY
18. Afrizal Harun, Pandangpanjang, Sumatera Barat
19. Ardi Pardianto-Kudus, Jawa Tengah


Fred Frumberg sengaja didatangkan ke Indonesia untuk menjadi pemateri karena Ia sangat berpengalaman bekerja selama bertahun-tahun di gedung opera dan teater di seluruh Amerika Serikat dan Eropa. Pengalamannya di bidang stage management diperlengkap dengan tujuh tahun sebagai asisten stage manager dari Peter Sellars, sebagai head of production di Paris Opera, dan stage director untuk the Netherlands Opera, Amsterdam.

Sejak Juni 1997, Fred Frumberg membantu pelestarian kesenian tradisional Kamboja, dan 6 tahun kemudian ia mendirikan AMRITA Performing Arts. Organisasi nirlaba yang berbasis di Phnom Penh ini berkomitmen untuk memproduksi tari dan teater lokal yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas nasional dan kreativitas di semua bidang produksi dan manajemen seni.

Bagi peserta, selain akan memperoleh pengalaman dan bekal keahlian sehingga lebih siap menghadapi tantangan kerja sebagai seorang stage manager, semua biaya yaitu transportasi dan akomodasi peserta dari tempat asal hingga pulang kembali akan ditanggung oleh Kelola. Program ini didukung oleh Asian Cultural Council.

Community Theatre Performing Black-White Padangpanjang



Actor(Not) Everything

By Nasrul Azwar

"Our job waiting, waiting Dogot task. That's it. Stomach that's your business. "
"What's it's just a brain, do not wear belly? What Dogot, your brother did not have the stomach but have a brain? So? You're brothers right? Just as the whistle blew builders, artisans selling tickets and ditch digger. Dogot's brother right? If not why did you close-up ?..."
Piece of text at the top looks mediocre. Nothing strange. Similarly, the text of this article.However, he feels very different when the spirit of play is blown into it. He was flesh and soul. So the theater. Such events theater built from the text that "dead" becomes "live" on stage. And this is what distinguishes the significance between the literary text text view theater.

Choice of literary texts in the form of short stories that are projected to text art community theater performed by Black & White Padangpanjang Kurniasih director of Olives, it shows the kind of antiesensialisme. "Awaited Dogot" original works of short stories Sapardi Djoko Damono, who on July 1, 2006 at the Cultural Park Theatre Closed West Sumatra diaudivisualkan like antarsutradara clarify the relation of space, authors, performers, and spectators. On the night went on so-called diaspora and brikolase theater. "Awaited Dogot" in a positive level and integrate the successful rearrangement of objects put markers previously-unrelated-to generate new meanings in new contexts.

Intertextuality with the understanding the accumulation and creation of meaning across the text in which all meanings depending on the meaning of each other. Consciously quoting a text in another text as an expression and a greater awareness kutural. At the very least, the same texts that are connected in a single frame of interpretation that gives broad democratization and opening text crawl. Director position, with all its supporters have managed to compile the various elements that deserve presented on stage. So, therefore, theatrical performances "Awaited Dogot" incarnates not like kutbah that sucks, which is often done by many theater groups in the city of Padang so far.

Process Seriously
Short story "Awaited Dogot" by Sapardi Djoko Damono which was adapted into theatrical works on stage, did not immediately release him so just with a text that has been formed in the public memory. At the very least, the first reference comes from the public memory is "Waiting for Godot" by Samuel Becket. The relation of text that is built up by itself, then find "justification" as the problem of human life absurdisme become an important case in the text of the show "Wait Dogot".

In this limit, perhaps what is called intertextuality find its legitimacy. Sapardi Djoko Damono as the author of "Awaited Dogot" and Kurniasih Olives as the director puts kuktural code as an entry for the crawl spaces, context, and narrative kanaifan man himself.

It has become a separate note, that the work of Samuel Beckett inspired at least 100 books and thousands of works in the face of this earth, and his work became a study material inexhaustible. Not just "Manunggu Godot", also other works such as "Endgame" become a master drama Becket. Indeed, who was elected as the work of Nobel literature laureate is "Waiting for Godot" in 1969.

So far, finally had to perform an act, also means interpreting the manuscript. Commentary by Kurniasih Olives to the "Awaited Dogot" deserve positive be appreciated. This case was seen from the styles and points of emotional attachment to the form of investment which is contingent (impermanence), and poured in a fantasy which partially unify the various discourses and psychic power play. Performers, called "Men" and "Woman" is the impermanence of human identity which tries to construct narratives of self-confidence increasingly porous subjectivity.Two identities are the focus of the story to build the conflict, as well as visual effects.
When the text "Waiting for Godot" dialogue plays a long philosophical debate, and if not wait it is very tiring, so the script "Awaited Dogot" aktualisasai more emphasis on current conditions, and not a philosophical debate. Thus, the consequences of cultivation and the presence of properties on the stage becomes very important.

The story "Awaited Dogot" begins a man and a woman push his bike to meet Dogot. Because both of them being waited Dogot. Dogot gives the condition that the two men were not to be late and should not be too fast, be on time. Problems emerge when pedaling the bicycle: if too fast or slow the case are geared toward. The agreement, they must be on time. Arguments can not be avoided, and also regarding the identity Dogot lawsuit waiting. But in a fight that also emerged a sense of romantic intimacy and the second was a human child. The most primordial human instinct for other types appeared, namely sex. And what and who you really Dogot who was waiting for them, eventually it becomes plural identity and cultural identity. But people really crave like Dogot identity.

People of "Woman" Ika Trisnawati played that night was turn the image of "woman" really is.Acting is not nosy, and seem able to complement the natural "man" who dilakonkan Ashadi.From the second story of the play is explored, were exposed, and built with the stabilization of games that remain within the frame that does not look like there is a lot of repetitions performed theater groups in this area. Therefore, the spectacle of so interesting, communicative, effective, and amazing. Estimates show no more than 40 minutes to make the audience fascinated in his chair. For me, adjust the tempo of the game, using seefesien possible time, and also the ability memungsionalisasikan property, is something inevitable for theatrical performances. And it has been done by the arts community Padangpanjang Black-White.

Additionally, one thing that makes the show "Wait Dogot" somewhat different from other theater performances in West Sumatra has emerged is an awareness of the functions and benefits of technology and the ability menyinergikannya with the needs of the show. Kahadiran screen on the wall of the stage to show the pictures that are connected with activities and events that built the two actors, clearly emphasize the effects achieved. Also, present a stage that moves, feels completing the integrity of the show. Toward achievement so that, for me not be resolved easily, and also not a matter which concerns berteater tersebab the invitation from the other side, then roll in a theater play. At least, there kesesungguhan in it. There are processes and the search for innovative forms of said stage. Work and theater events like this are never noise. Black-White art community may be one of the many community theater that moves with the participation and perseverance in seeking and continue to hone kamampuan and sensitivity of thoughts and feelings. They walked in the identity and the militants.

So, what Peter Brook has ever written, at this boundary is very true: Theater should reflect the unique relationship of the sign of life. The difference that separates between truth and reality are not at the level of difference, but on the similarities that can be read through a set of careful thinking.

"Awaited Dogot" wide open spaces and contextual interpretation, but historically, it becomes ahistorical. Linkages and relevance to social life are implemented in the actualization of the theme, and content. Dialogue and conflict that put forward possible to achieve unification of articulation and determination logic in the realm of space and time. However, due to a lack of in-depth study of absurdisme, existentialism, and the psychology of Freud, then show "Wait Dogot" less successful at the level of psychological exploration. The characters are still playing in the ego-subjectivity, clearances clearly legible characters, and the details of each character untapped. But, one thing is very awake is a stable tempo game, and the achievement of an appropriate plot.

So the "Awaited Dogot". He will be packed themselves with offers of participatory and imaginative to the public, and indeed not just a theater actor who became the property which is painted above the stage director, actor is a "creator" on stage. *

Posted by Nasrul Azwar
link terkait : http://www.mantagisme.co.cc