RANK WIDGET

TENTANG HITAM-PUTIH

Komunitas seni HITAM-PUTIH di Sumatra Barat awalnya adalah kelompok teater yang tumbuh di lingkungan pelajar SMU. Didirikan pada tahun 1992 dengan nama Teater Plus sebagai salah satu kegiatan ekstra-kurikuler di SMU Plus INS Kayu Tanam Sumatera Barat dengan berbagai karya pertunjukan seperti Anggun Nan Tongga (1993), Ring (1994), Kamar, Perguruan (2005), Interne, Kado (1996) . Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1997 bertepatan dengan Ulang tahun INS Kayutanam, atas beberapa pertimbangan dari beberapa siswa dan alumni yang aktif, akhirnya terdapat satu kesepakatan dibentuknya sebuah kelompok independen dengan nama komunitas seni HITAM-PUTIH. Hingga saat ini komunitas seni HITAM-PUTIH tetap eksis dan selalu memberi warna baru dalam aktifitas seni pertunjukan di Indonesia khususnya di Sumatra Barat. Berbagai aktivitas seni pertunjukan khususnya teater dengan pendekatan teater tubuh telah dipentaskan, baik di tingkat regional Sumatera hingga di beberapa tempat di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Seperti Menunggu (1997- 1998-1999-2000), Hamba-Hamba (1997-2008), Welcome to Millenium, Komplikasi (2000), Pesta Topeng (2001), Pintu (2002-2003), Aksioma (2005), Tak Ada Sabtu Sampai Minggu Hanya Ada Siang Dan Malam (2006) Ditunggu Dogot (2005-2007), Dunia Dalam Mesin Jahit (2006), Tangga (2007), Zona X (nyanyian negeri sunyi) (2008), Sesuatu yang melintas dalam samar (2009). di samping melakukan eksplorasi, riset dan eksperimen untuk mencari bentuk-bentuk alternatif seni pertunjukan khususnya seni teater. komunitas seni HITAM-PUTIH, juga mengembangkan bidang kesenian lainnya dengan menjadi penyelenggara beberapa iven seperti pemutaran film kerja-sama dengan Jiffest, In-Doc, dan Eagle Award (2003- sekarang) dan membantu Sukri Dance Theatre dalam setiap proses dan pertunjukan tari.

KALENDER HITAM-PUTIH

USULAN ARTIKEL

PENGIKUT BLOG

Pertunjukan Hitam-Putih: Aktor (Bukan) Segala-galanya

OLEH Nasrul Azwar

“Tugas kita ditunggu, tugas Dogot menunggu. itu saja. Perut itu kan urusanmu.” “Apa urusanmu cuma otak, tak pakai perut? Apa Dogot, saudaramu itu tak punya perut tapi punya otak? Begitu? Kau saudaranya ‘kan? Seperti halnya tukang tiup peluit, tukang jual tiket dan tukang gali selokan. Dogot itu saudaramu ‘kan? Kalau bukan mengapa kau tutup-tutupi?...” Sepenggal teks di atas tampak biasa-biasa saja. Tak ada yang ganjil. Sama halnya dengan teks tulisan ini. Akan tetapi, ia terasa sangat berbeda ketika roh lakon ditiupkan ke dalamnya. Ia berdaging dan bernyawa. Demikianlah teater. Demikianlah peristiwa teater dibangun dari teks yang “mati” menjadi “hidup” di atas panggung. Dan inilah yang membedakan secara signifikans antara teks sastra dangan teks teater. Pilihan teks sastra berupa cerpen yang diproyeksikan menjadi teks teater yang dilakukan komunitas seni Hitam Putih Padangpanjang dengan sutradara Kurniasih Zaitun, memang memperlihatkan semacam antiesensialisme. “Ditunggu Dogot” semula berupa cerpen karya Sapardi Djoko Damono, yang pada 1 Juli 2006 di Teater Tertutup Taman Budaya
Sumatra Barat diaudivisualkan seperti mempertegas ruang relasi antarsutradara, pengarang, pelakon, dan penonton. Pada malam itu berlangsung apa yang disebut diaspora dan brikolase teater. “Ditunggu Dogot” dalam tataran yang positif berhasil penata ulang dan memadukan objek-objek penanda yang sebelumnya—taruhlah tidak saling terkait—untuk menghasilkan makna-makna baru dalam konteks yang baru.

http://www.mantagisme.blogspot.com